Pages

Pendidikan dan Reproduksi Hirarki Sosial

Sabtu, 31 Desember 2016


Mungkin  teoretikus paling berpengaruh dalam struktur masyarakat adalah Karl Marx (1967). Dia berpendapat bahwa kondisi material dan hubungan produksi mempunyai kekuatan penentu atas struktur dan hubungan dalam masyarakat. Khususnya, masyarakat memiliki dasar ekonomi dan infrastruktur, dimana dalam “contoh terakhir” menentukan dua level superstrukturnya, hukum dan negara bagian dan ideologi terkait. Negara bagian, melalui “aparatur negara yang bersifat menekan” (kebijakan, penjara, tentara, dan lain sebagainya) bertahan dan mereproduksi produksi industrial dalam modal dan kelas dominan.
          Namun tulisan ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara yang berkaitan dengan pemaksaan kekuatan dalam masa dan masyarakat secara umum. Ada pandangan yang “kuat” bahwa kondisi sosial sangat determinatif sifatnya, dan bahwa manusia dipenjarakan tanpa kunci dari teori Marx yang digunakan untuk menembus kesadaran dan tekanan yang salah. Ada juga posisi determinist yang lebih lembut, dimana kemanusiaan mampu memberikan reaksi, dan dimanapun mampu menciptakan perubahan sosial (Simon, 1976). Pebedaan yang bisa dibedakan digambarkan oleh Giroux (1983) antara tradisi “strukturalis” dan “kulturalist’ dalam teori neo-Marxist, yang menekankan pentingnya struktur sosial dan ekonomi, atau budaya dan hubungannya dengan agen manusia.
Determinisme Keras
Teoretikus modern yang sangat berpengaruh dalam tradisi ini adalah Althusser (1971). Dia berpendapat bahwa sebagai tambahan pada “aparatur negara yang menindas” reproduksi sosial tergantung pada “aparatur negara ideologis”, yang meliputi pendidikan, agama, hormat pada hukum, politik, dan budaya, dan bahwa tidak ada kelas yang bisa menjaga kekuasaan tanpa memperluas hegemoni atau dominasi budaya atas area tertentu. Pendidikan merupakan “aparatur negara ideologis” paling kuat dalam mereproduksi hubungan, yang menanamkan penerimaan tenaga kerja dan kondisi kehidupan massa.
          Bourdieu dan Passeron (1977) mengajukan teori sekolah dan reproduksi masyarakat yang sesuai dengan kategori ini. Alam kaitannya dengan budaya linguistik (lebih umumnya adalah “modal budaya” khususnya penting dalam menentukan hasil pendidikan sosial, dalam kaitannya dengan keanggotaan kelas. Mereka menyebutnya “symbolic violence” dominasi budaya dari kelas pekerja yang menutupi reproduksi sosial.
          Perkembangan thesis deterministik keras yang berpengaruh yang memainkan peran ideologi adalah Bowles dan Gintis.
          Hubungan terkini antara pendidikan dan ekonomi dipastikan tidak melalui isi pendidikan namun melalui bentuknya: hubungan sosial dari pertemuan yang terkait pendidikan. Pendidikan mempersiapkan siswa untuk menjadi pekerja melalui penyesuaian antara hubungan produksi sosial dan hubungan pendidikan sosial. Seperti layaknya divisi tenaga kerja dalam perusahaan kapitalis, sistem pendidikan menilai hirarki otoritas dan kontrol dengan baik dimana kompetisi bukan kooperasi mengatur hubungan antara partisipan….urutan hirarkis dari sistem sekolah disesuaikan dengan persiapan siswa untuk posisi masa depan mereka dalam hirarki produksi, membatasi perkembangan kapasitas yang melibatkan latihan timbal balik dan partisipasi demokratik dan memperkuat ketidaksamaan sosial dengan mengesahkan tugas siswa pada tempat yang tidak sama dalam hirarki sosial.
 (Gintis dan Bowles, 1980, hal 52-53)
Sehebat apapun argumen ini, mereka dipengaruhi dua kesalahan utama. Pertama, sifatnya terlalu deterministik dalam membelenggu pendidikan pada kondisi produksi. Dalam hal ini, mereka tidak membiarkan adanya eksploitasi kekuatan berlawanan dalam kerja sistem, serta lembaga manusia atau resistansi didalamnya (Giroux, 1983). Kedua, khususnya dalam kasus Bowles dan Gintis (1976), mereka menolak sifat pengetahuan, yang sudah kita lihat sebelumnya, berkaitan dengan ideologi dan kelas, dan tidak bisa diabaikan.
Determnisme Lembut
Banyak dari pandangan yang diperlihatkan di atas tetap valid untuk pandangan reproduksi deterministik yang lebih lembut yang diperlihatkan disini. Namun, di luar determinisme struktural Gramski (1971) berpendapat bahwa dominasi masyarakat oleh satu kelas memerlukan hegemoni budaya. Ini merupakan dominasi budaya dengan pembenaran satu kelas membingungkan serta memaksakan kekuasaan dan prestisenya hegemoni seperti ini memenuhi “pengertian umum” dari massa, dan karenanya mengamankan izin dan persekongkolan yang tidak diketahui oleh mereka.
          Williams (1976) membangun konsep hegemoni, namun memberikan opini bahwa ada bentuk alternatif dan oposisi kehidupan dan budaya sosial yang mungkin menggabungkan alternatif atau bahkan bentuk yang berlawanan. Hal ini menjelaskan poin penting dan yang lebih umum yang dibuat oleh William, terkait dengan keserberagaman ideologi dan budaya. Ini semua terlalu mudah untuk jatuh dalam perangkap yang bergerak dari hegemoni pada pandangan yang sederhana dan statis dari budaya. William menekankan kompleksitasnya dan dinamikanya
          Giroux (1983) mengakui sifat kompleks dari budaya. Dia menyatakan bahwa dalam budaya sekolah ada perlawanan yang lebih dari skedar respon pada kurikulum authoritarian, dan mencerminkan agenda alternatif. Dia berpendapat berdampingan dengan Freire dan pendidik publik lainnya dimana melalui pendidikan kritis, siswa bisa dibebaskan dari kekuatan reproduktif pada kerja di sekolah.
          Secara keseluruhan, menurut pengelompokan kedua ini, kekuatan yang cenderung mereproduksi struktur hirarkis dari masyarakat diakui, seperti pentingnya budaya, ideologi dan pengetahuan. Namun hal ini dipandang memiliki peran ganda, sebagai arti penting dari dominasi dan juga makna bagi emansipasi. Sejumlah penulis telah menerapkan satu atau bentuk lain dari ide di atas pada pendidikan matematika, seperri Cooper (1989), Mellin-Olsen (1987), Noss (1989, 1989a) dan lainnya dalam Noss (1990). Noss dan Cooper menyimpulkan bahwa ini merupakan bentuk isi pendidikan matematika (misalnya kurikulum tersembunyi) yang membawa tujuan sosialnya.
          Cooper berpendapat bahwa hegemoni sekolah mempraktekkan kekuasaan negatif atas guru sekolah yang utama yang mengikat mereka pada otoritas tradisional dan pendekatan rutin pada matematika, dan pada kurikula yang berbeda yang berfungsi untuk menciptakan ulang hirarki sosial. Elemen-elemen dari kebenaran lingkaran penjelasan ini, dan memberikan pandangan yang berharga seperti bagaimana tekanan budaya mengikuti rantai kekuasaan dalam hirarki sekolah. Namun demikian, hal ini terlalu sederhana dalam tingkat keyakinan dan ideologi guru dan kelompok dengan tekanan sosial.
          Noss menunjukkan kasus yang hebat untuk thesis deterministik yang lemah dalam pendidikan matematika, dan mengidentifikasi kurikulum nasional dalam matematika yang berfungsi sebagai fungsi reproduktif yang sangat anti pendidikan (Noss, 1989, hal 1). Dia berpendapat bahwa ada kontradiksi dalam sistem yang memungkinkannya untuk berfungsi untuk tujuan pendidikan. Secara khusus, prioritas rendah disesuaikan dengan isi matematika, dalam pandangannya hal ini bisa dieksploitasi guna memperkuat pendidikan demokratis. Namun dia tidak mengakui bahwa struktur hirarkis dari isi kurikulum bertugas menciptakan ulang sebuah stratifikasi masyarakat yang hirarkis, seperti yang akan dikemukakan berikut. (Meskipun dalam Noss, 1989a, disarankan bahwa kurikulum kemampuan dasar dalam matematika untuk memberikan keterampilan tenaga kerja mengenai eksploitasi keuangan.)
          Mellin-Olsen (1987) mengakui keberadaan tenaga reproduktif dalam pendidikan matematika dan masyarakat, dan membangunnya dalam gambaran teoritis juga dalam psikologi sosial, antropologi dan psikologi. Dia menekankan, mengikuti Giddens (1979) bahwa individu menciptakan ideologi serta hidup dengan ideologi tersebut. Secara khusus, dia mengidentifikasi resistansi pada hegemoni dengan produksi ideologi alternatif dalam hal aktivitas. Dia berpendapat bahwa memperkuat pendidikan matematika harus memahami kesempatan ini: pendidikan matematika yang penting harus memberikan alat untuk berpikir bagi para pelajar untuk terlibat dalam aktivitas yang menantang ideologi implisit dari sekolah.
          Penilaian singkat tidak bisa membenarkan teori Millen-Olsen, memberikan dukungan argumen dan menghubungkannya dengan praktek. Nmaun, bisa dikatakan bahwa hal ini terbagi dalam dua area kelemahan yang sebelumnya teridentifikasi dalam penilaian reproduksi sosial. Pertama, hal ini tidak membedakan ideologi dan kepentingan kelompok sosial pada kerja kurikulum matematika. Ini mungkin terlihat tidak begitu penting untuk argumen umum yang diberikan oleh Millen-Olsen, namun hal ini sebenarnya diperlukan sebelum ideologi implisit sekolah bisa ditantang. Kedua, Hal ini tidak menggali elemen ideologi, dan di atas semua itu, tidak mempertimbangkan pandangan sifat matematika, yang sifatnya sangat penting bagi pendidikan matematika, berdasarkan pernyataan dalam buku ini.
          Secara keseluruhan, ada dukungan yang luas untuk pernyataan bahwa pendidikan membantu mereproduksi struktur masyarakat hirarkis, berfungsi dalam masalah kekayaan dan privilege. Namun, pernyataan ini perlu dipahami agar tahu kompleksitas hubungan dalam masyarakat, dan yang mengubah karakter deterministik dari bentukan asli. Pernyataan reproduksi yang diubah ini tergantung pada ideologi, sehingga ini tepat untuk menggali hubungannya dengan model ideologi pendidikan buku ini.
Pelatih industrial
Dalam hal lingkungan sosial massa, pelatih industrial secara langsung bersifat reproduktif. Karena itu, pelatihan sosial massa melalui matematika merupakan bagian persiapan untuk kehidupan tenaga kerja yang patuh. Latihan, hafalan, praktek, demarkasi dualistik antara yang benar dan yang salah, serta otoritas hirarkis yang tegas dari guru akan membantu menanamkan perkiraan dan nilai yang tepat untuk mendisiplinkan pekerja masa depan untuk peran dalam masyarakat, sedangkan strata yang lebih tinggi dari masyarakat masa depan tidak begitu diatur. Pelatihan level rendah juga memastikan bahwa masa menjadi tenaga kerja yang murah (Noss, 1989a). Sasaran inti dari kelompok ini diperoleh dari banyak kelompok yang lebih baik dan ideologinya melibatkan penjagaan kelompok sosial asli mereka dalam tempat mereka.


Humanist Lama
Humanist lama fokus pada perkembangan kemampuan serta bakat matematika dan penanaman nilai matematika murni. Hal ini mempermudah pemeliharaan dan reproduksi badan ahli matematika, yang menunjukkan porsi profesional, elit kelas menengah, dengan budaya kelas menengah yang murni. Hal ini bisa dilihat dari divisi antara kerja dengan tangan dan dengan otak, dan budaya concomittent serta pembedaan kelas (Restivo, 1985). Kelompok ini mempunyai tradisi yang lebih kuat atas isi kurikulum matematika, menjadikannya bergerak dari atas ke bawah (top down) melayani kepentingan kelompok bukan “dari bawah ke atas” melayani kepentingan semua. Dengan fokus pada kebutuhan para elit, dan keberlangsungannya, maka ideologi ini berusaha mereproduksi struktur kelas masyarakat.
          Dua kelompok ini fokus pada pemeliharaan kelompok dan batasannya. Humanist lama merupakan bagian dari kelompok profesional dari kelas menengah dengan kekuasaan ekonomi serta politik, dan dengan budaya yang kemurniaanya berfungsi untuk mendefinisikan dan mempertahankan batas kelompok. Douglas (1966) telah berpendapat secara umum bahwa kemurnian berfungsi untuk mempertahankan batas kelompok dalam hal ini, dengan dasar kerja antropologis yang luas. Tujuan dan ideologi yang paling murni dari kelompok ini sesuai dengan pola ini. Pelatih industrial yang ditujukan bagi pendidikan matematika bukanlah yang paling murni, dan juga berfungsi untuk menjaga batas kelompok disekitar masa, dan karenanya mereka memiliki batas kelompok sendiri. Hal ini terlihat tidak konsisten dalam kemurnian moral dalam tradisi Judeo-Christian (kebersihan berada disamping ketuhanan, ‘dosa asli’), berlawanan dengan kemurnian epistimologis dari humanist lama. Sehingga, konsepsi kemurnian budaya Douglas (dan isinya) sebagai respon pada ancaman batas kelompok juga diaplikasikan disini.
Pragmatists teknologis
Pragmatis teknologis tidak begitu memperhatikan penjagaan batas kelas, dan karenanya tidak begitu reproduktif. Masyarakat dipandang sebagai dasar pada kekayaan dan kemajuan, dengan mengikuti inovasi dan kemajuan teknologi. Pendidikan matematika merupakan bagian dari keseluruhan pelatihan atas populasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan, dan tujuan sosial yang jelas bersifat meritokratik. Gerakan sosial dalam dasar pencapaian teknologi merupakan bagian dari pandangan ini, karena industri dan sektor lainnya terus meluas dan memerlukan karyawan yang terlatih dalam bidang teknologi. Namun, stratifikasi sosial dengan dasar kelas yang ada tidak dipertanyakan, dan akibatnya berbagai faktor dan perkiraan berfungsi untuk mereproduksi divisi dan stratifikasi sosial.
Pendidik progresif
Pendidik progresif ditujukan untuk matematika fokus pada perwujudan dan pemenuhan manusia melalui matematika sebagai arti dari ekspresi diri dan pengembangan personal. Penekanan dari pandangan ini sangatlah individualistik. Sedangkan hal ini diarahkan untuk kemajuan individu dalam sejumlah cara, tidak menempatkan mereka dalam matriks sosial, serta tidak mengetahui konflik pada kerja dalam masyarakat yang menggali efficacy dari pendidikan yang progresif. Sehingga meskipun pandangan bersifat progresif, namun tidak begitu menggali kekuatan reproduktif pada kerja di masyarakat dan sekolah. Faktor seperti sumber daya sekolah dan guru yang tidak sama memberikan stereotip pada siswa tidak menantang. Secara sosial, pendidik progresif memperhatikan masalah perbaikan kondisi individu, bukan pada perubahan sosial untuk memberikan kondisi emansipasi.
          Dari dua ideologi ini, yaitu bahwa pendidik progresif merupakan yang paling banyak digunakan untuk mengembangkan dan memperkuat individu, dan memudahkan kemajuan sosial yang bersifat meritokratik merupakan ide yang lebih progresif diantara dua yang ada. Selain itu, dua pandangan buta terhadap konteks sosial dan dampaknya pada kemajuan sosial. Keduanya tekait dengan pencapaian serta usaha keras individu, bertentangan dengan latar belakang hirarki sosial. Tidak ada pandangan yang mempertanyakan fakta dimana sektor yang berbeda disosialkan untuk memiliki harapan pendidikan, dan menerima bentuk pendidikan yang berbeda sesuai dengan kelas asalnya. Atau tidak juga mengakui bahwa akhirnya kurikulum yang tersembunyi cenderung mereproduksi stratifikasi karyawan dan kekayaan. Seperti yang disampaikan Millen-Olsen (1981), kelas pekerja dan siswa kelas menengah berharap serta dikondisikan untuk belajar matematika secara instrumental atau relasional.
          Hanya satu dari dua pandangan meritokratik ini yang memiliki ideologi paling murni. Ini merupakan pandangan pendidik progresif, yang menekankan kreativitas dan berpusat pada anak, berlawanan dengan kegunaan. Romantisisme dan fokus pada maslah murni dari anak-anak, memberikan kelompok yang mndefinisikan ideologi, melindungi posisi kelas menengah dari pendidik profesional. Hal ini juga berfungsi untuk menaikkan pendidik progresif dalam peran pengasuhan yang mempunyai hak istimewa dan hubungannya dengan anak dan secara analog dalam masyarakat, sebagai  profesional kelas menengah. Sehingga kemurnian dari ideologi ini bisa dilihat, Douglas untuk mengamankan batas dan minat kelompok.
Pendidik publik

Pendidik publik fokus pada penguatan pelajar, melalui matematika, menjadi otonom, warga negara penting dalam masyarakat demokratis. Kurikulum bagi pendidik matematika publik ditujukan untuk menjadi emancipatory melalui integrasi guru dan diskusi publik tentang matematika dalam konteks sosial dan politiknya, melalui kebebasan siswa untuk bertanya dan menantang asumsi tentang matematika, masyarakat, dan tempat mereka, serta penguatan mereka melalui matematika pada pemahaman dan kontrol yang lebih baik dari situasi hidup mereka. Pandangan ini sepenuhnya mengakui dampak konteks sosial dalam pendidikan dan memandang pendidikan sebagai makna pencapaian kebenaran sosial. Ada perhatian terhadap alokasi sumber daya yang tidak sama dan kesempatan kehidupan dalam pendidikan, dan perhatian pada perlawanan rasisme, seksisme dan rintangan lain pada kesempatan yang sama. Dari kelima ideologi, hanya ini saja yang merupakan pandangan perubahan sosial, mengakui ketidakadilan dari masyarakat kita yang terstratifikasi dan hirakis, dan berusaha menghancurkan siklus dengan mereproduksi atau menciptakan ulang melalui pendidikan.

Akar-akar dari Hirarki Sosial

Sabtu, 24 Desember 2016


Hirarki sosial memiliki sejarah yang panjang, kembali pada Hebrew dan Yunani kuno. Dalam Hebrew Old Testment sebuah hirarki implisit menempatkan Tuhan ditempat palig atas, diikuti oleh malaikat, lalu nabi di bumi seperti musa, diikuti oleh kepala suku, manusia lalu anak-anak dan wanita. Di bawah mereka adalah hantu dan akhirnya Lucifer atau Satan dirinya sendiri. Hirarki semacam ini secara linear mengurutkan manusia, dan memperluas urutan tersebut baik ke atas maupun ke bawah batas atau “poin ideal”, analog bagi geometri proyektif. Nilai sangat dihubungkan dengan hirarki, semakin tinggi, semakin baik, dengan yang paling ekstrim dikaitkan dengan tuhan dan setan. Nilai ini memiliki fungsi pembenaran, berfungsi untuk mengesahkan praktek otoritas dan kekuatan oleh superior dalam nferior pada hirarki. Hak ketuhanan raja merupakan contoh dari justifikasi kekuatan ini.
Dalam bab 7 pandangan ini dari sumber yang berganti-ganti, pandangan Aristoteles mengenai alam yang disatukan dalam waktu pertengahan untuk membangkitakan The Great Chain of being (Lovejoy, 1936). Sumber penting lainnya dari tradisi ini adalah divisi manusia dalam tiga jenis bertingkat, yang diisitilahkan dengan emas, perak dan perunggu (Plato, 1941). Hal ini bernilai signifikan karena hubungannya dengan pendidikan, dimana kurikula yang berbeda dianggap tepat untuk tiga jenis, diperoleh dari kebutuhan yang berbeda dalam hidup. Ini merupakan sumber tema yang akan dilihat terus dalam bagian ini. Kita juga akan memperhatikan bahwa perbedaan Yunani antara kerja tangan dan kerja dengan otak, membangkitkan assosiasi antara pengetahuan murni dan kelas yang lebih hebat (dalam pengamatan)
          Hasil modern yang tergabung dalam tradisi ini secara luas diterima sebagai model masyarakat pyramidal hirarkis, dengan kekuatan yang berpusat pada puncaknya, disahkan dan diperkuat, jika tidak direproduksi oleh budaya dan nilai yang terkait. Model masyarakat ini dipandang oleh banyak orang sebagai keadaan alami, seperti yang dicontohkan oleh manusia dan kelompok binatang di alam liar. Akar biologis ini ditolak dengan keras oleh analisis ulang feminist dalam hal sejarah dan antropologi, yang memandang hirarki piramida sebagai kaitan dengan dominasi pria dalam masyarakat, dan menolak klaim bahwa hal ini bersifat universal (Fisher, 1979). Pandangan masyarakat hirarkis mungkin dipandang sebagai bagian dari budaya yang mempertahankan struktur masyarakat yang ada, dan karenanya kelas menengah ke atas/pria mendominasi. Identifikasi hirarki pyramidal sebagai struktur alami masyarakat merupakan contoh “contoh pikiran keliru dari naturalistic”, asumsi yang salah tentang apa masalahnya, seharusnya seperti apa, harus diwaspadai.
          Ketika struktur kekuatan masyarakat secara fisik mengancam, kekuatan perlu dijaga. Namun yang lebih penting adalah dampak yang dirasakan dalam nilai dan budaya terkait. Menurut Douglas (1966), kelompok sosial memiliki batasan “kelompok”, membedakan anggota dari luar, dan batasan jaringan, membedakan sektor berbeda atau strata dalam kelompok. Dalam ancaman, menurut Douglas, kelompok menjadi fokus pada kemurnian dalam budayanya, dan dengan kelompok yang kuat dan batasan jaringan. Dalam pandangan ini, kemurnian dikaitakan dengn budaya kelas dominan, menjadi intensif seperti ketegasan definisi batasan, termasuk gradasi internal dalam hirarki.

Pandangan Hirarkis dari Kemampuan dalam Kurikulum Nasional

Jumat, 23 Desember 2016


Pandangan hirakis mengenai kemampuan matematika merupakan bukti dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum nasional. The Task Group on Assessment and Testing dibentuk untuk mengembangkan tes bagi “semua usia dan kemampuan” (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1987a, hal 26) dan istilah referensi yang termasuk adalah pemberian nasehat dalam penilaian untuk meningkatkan belajar melampaui kemampuan’ (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Sekretaris negara untuk pendidikan (K Baker) menulis pada ketua (P Black) mengenai kemampuan dan pembedaan sebagai berikut.
          Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari pembentukan target yang secara kualitatif berbeda-dalam kaitannya dengan wilayah pengetahuan, keterampilan atau pemahaman-bagi anak dari kemampuan yang berbeda.
 (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1988b, Appendix B)
Laporan akhir dari kelompok kerja matematika (Departemen pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1988) juga mengunakan bahasa stereotip kemampuan. Surat pengantar untuk sekretaris negara berisi bahwa proposal yang tertera adalah “sesuai untuk anak-anak dalam segala usia dan kemampuan, termasuk anak dengan kebutuhan pendidikan khusus (hal vi). Contoh selanjutnya diambil secara acak dari laporan yang meliputi: guru dari murid yang sangat pandai…akan perlu …merujuk pada program B guna memperluas kerja dari siswanya yang paling mampu’ (hal 63). Akan ada waktu dimana anak yang paling pandaipun memerlukan usaha’ (hal 68)’beberapa anak yang paling tidak mampu 10 persennya mengalami kesulitan, misalnya level 1 pada usia 7 dan level 2 pada usia 11’ (hal 83)
          Kutipan ini dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pejabat (pemerintah) dan yang muncul dalam publikasi kelompok kerja matematika adalah hirarki kemampuan matematika, dimana individu bisa diberi posisi yang tetap atau relatif stabil.
          Selanjutnya, kurikulum nasional dalam matematika menghasilkan batasan pengalaman kurikulum bagi siswa dengan pencapaian rendah dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka kurikulum dan penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1). hasil yang diterima adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua siswa, mereka dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki level yang lebih sederhana.
Hasil dari asumsi ini dalam kurikulum nasional dalam bidang matematika kemungkinan akan memperburuk dan melebihi-lebihkan perbedaan individu dalam kinerja. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini hampir pasti menjadi pemenuhan diri, penolakan sukses dalam matematika untuk sejumlah besar siswa sekolah.
Tentu saja stereotip kemampuan dalam matematika tidak hanya didasarkan pada perbedaan pencapaian yang diamati. Ada bukti yang tidak bisa disangkal bahwa faktor kelas (baik itu etnik dan gender) memainkan peran yang sangat besar dalam pemberian label ini (Meighan, 1986). Stereotip kemampuan yang dibangun dalam kurikulum nasional bidang matematika mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan dalam posisi “hirarki kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama tahun sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit gelap kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah dalam hiraki, sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti-egalitarian lain dari kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan sosial” yang pasti dan hirarkis dari pencapaian siswa

Kritik terhadap Pandangan Hirarkis Kemampuan Matematis


Ruthven (1987) memberikan krtik yang tajam atas stereotip kemampuan, dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi pencapaian matematika siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam topik dan waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat permintaan kognitif yang tinggi dan rendah dari pencapaian siswa yang tinggi dan rendah, yang memperburuk perbedaan yang ada. Kritik ini bisa didukung oleh dua pandangan teoritis: sosiologis dan psikologis.
          Argumen sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika berasal dari teori labelling. Kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara khusus, ada bukti yang luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup berpendidikan dan kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang paling mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling, menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label seseorang sebagai orang yang mencapai kemampuan matematika rendah, misalnya seringnya pemenuhan diri. Sehingga kemampuan yang tersebar luas dalam pengajaran matematika, meskipun hanya terkait dengan ukuran pencapaian, telah memiliki pengaruh pemberian label dengan dasar kemampuan, dan akhirnya akan mempengaruhi prestasi dalam bidang matematika, dan menjadi pemenuhan diri (Meighan, 1986; Ruthven, 1987)
          Dasar teoritis kedua untuk menolak pandangan kemampuan hirarkis adalah psikologis. Ada tradisi dalam psikologi Soviet yang menolak gagasan kemampuan tetap, dan menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman sosial. Perkembangan ini dipercepat secara politis pada tahun 1936 ketika Soviet melarang penggunaan uji mental, yang menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal kemampuan (Kilpatrick dan Wirszup, 1976). Kontributor yang berkembang dalam tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui interaksi sosial, melampaui “zone of proximal development”. Interaksi perkembangan personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (teori aktivitas) oleh Leont’ev (1978) dan lainnya. Dalam keseluruhan tradisi ini, psikolog Krutetskii (1976) telah mengembangkan konsep kemampuan matematis yang sifatnya lebih tidak tetap dan tidak begitu hirarkis dibandingkan dengan yang dibahas sebelumnya. Pertama dia menawarkan kritik tentang pandangan yang relatif tetap pada kemampuan matematika yang berakar dari tradisi psikometrik dalam psikologi. Lalu dia menawarkan teori kemampuan matematikanya sendiri yang didasarkan pada proses mental yang dikembangkan oleh individu yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Dia mengakui perbedaan individu dalam pencapaian matematika, namun memberikan bobot yang besar pada pengalaman yang berkembang dan formatif dari pelajar dalam menyadari potensi matematikanya.
          Tentu saja, potensi ini sifatnya tidak konstan dan bisa diubah. Guru seharusnya tidak memasukkan gagasan dalam dirinya bahwa kinerja anak berbeda-beda-dalam matematika katakanlah- ini merupakan refleksi level kemampuan. Kemampuan bukanlah takdir namun ini dibentuk dan dikembangkan melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas. Sehingga kita membicarakan keharusan untuk membentuk, mengembangkan, mengolah dan meningkatkan kemampuan anak, dan kita tidak bisa memprediksi secara pasti seberapa jauh perkembangan ini bisa terjadi.
(Krutetskii, 1976, hal 4)
Tradisi psikologis Soviet memiliki dampak yang meingkat dalam pendidikan matematika (Christiansen dan Walther, 1986; Crawford, 1989; Mellin-Olsen, 1987). Diakui bahwa level kognitif respon siswa dalam matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga keterampilan dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas matematika. Hal ini memerlukan perkembangan pendekatan ilmu pendidikan dalam matematika yang sifatnya sensitif dan berkaitan dengan sasaran serta budaya siswa. Siswa yang diberi label “kurang mampu dalam matematika” bisa secara cepat meningkatkan level kinerjanya ketika mereka terlibat secara sosial dan budaya dalam aktivitas terkait matematika (Mellin-Olsen, 1987)
          Konfirmasi empirik lain dalam ketidak-stabilan kemampuan bisa ditemukan dalam fenomena idiot savant. Disini, orang yang diberi label “tidak berpendidikan” bisa menunjukkan level tinggi yang sangat mengagumkan dalam domian dimana mereka menjadi terlibat (Howe, 1987)
          Secara keseluruhan, ada dasar teori yang kuat (dan empirik) tentang penolakan terhadap pandangan hirarkis tentang kemampuan matematis, dan menghubungkan hal ini lebih pada perkembangan sosial, yang muncul dari tradisi Soviet. Dipasangkan dengan argumen sosiologis, hal ini meliputi kasus yang bertentangan dengan pandangan hirarkis tentang kemampuan dalam matematika.

Pandangan Hirarakis Kemampuan Matematis


Intelegensi umum oleh para psikolog dianggap sebagai kekuatan mental tetap yang dibawa sejak lahir, seperti kutipan yang disampaikan oleh Schonell berikut.
Intelgensi umum bisa diartikan sebagai kekuatan mental yang dibawa sejak lahir yang sedikit berubah dalam tingkatannya karena lingkungan meskipun perwujudan dan arahnya ditentukan oleh pengalaman.
 (Tansley dan Gulliford, 1960, hal. 24)
Meskipun tersebar luas, pandangan ini tidak disetujui oleh semua psikolog modern (Pigeon, 1977). Namun, karena kemampuan matematika telah diidentifikasi sebagai faktor utama dari intelegensi umum (Wrigley, 1958), mungkin hal ini juga berkontribusi pada persepsi bahwa kemampuan matematika dari seseorang sifatnya tetap dan kekal. Dalam analisis yang tajam Ruthven (1987) menyatakan bahwa persepsi ini sudah menyebar luas, dan umumnya dipandang oleh guru dan lainnya sebagai penyebab utama adanya level pencapaian yang berbeda dalam bidang matematika. Dia menggunakan istilah “ability stereotyping” untuk kecenderungan guru yang mempunyai persesi stabil akan kemampuan siswanya dengan harapan akan pencapaian/prestasi mereka, meskipun dalam menghadapi bukti yang berlawanan.
          Pengaruhnya, siswa menjadi subjek yang membentuk stereotip dimana guru mengkarakterisasi mereka dalam istilah yang ringkas, dengan penilaian global akan kemampuan kognitif dan mempunyai harapan yang terlalu menggeneralkan siswanya.
(Ruthven, 1987, hal. 252)
Satu akibat dari adanya stereotyping kemampuan adalah, dalam kasus ekstrim, perbedaan dalam kinerja yang diamati dalam tugas tertentu dianggap sebagai indikasi “kemampuan matematika dari seorang pelajar”. Contoh yang terkenal dalam kasus ini adalah “perbedaan tujuh tahun” (seven year difference) oleh Cockroft (1982). Hal ini akan dibahas setelah karakterisasi pencapaian numerik pada anak-anak rata-rata, “di bawah rata-rata” dan (secara implisit) “di atas rata-rata”
          Ada “perbedaan tujuh tahun” dalam mencapai pemahaman nilai tempat yang cukup untuk menuliskan angka yang 1 lebih dari 6399. Dengan hal ini maksud kita meskipun anak rata-rata mengerjakan tugas ini pada usia 11 bukan usia 10 tahun, ada beberapa anak berusia 14 tahun yang tidak bisa melakukannya dan beberapa usia 7 tahun yang bisa.
(Cockroft, 1982, hal 100)
Kutipan ini menunjukkan bahwa kinerja anak secara individu dalam item tertentu dalam waktu tertentu yang berhubungan, dan bahkan dianggap sebagai indikator dari keseluruhan konstruksi “kemampuan matematis”. Perkiraan dari konstruksi kemampuan matematika global anak yang gigih, akan meningkatkan level pencapaian yang kekal, hal ini dibenarkan oleh kutipan berikut ini.
          Bahkan jika level pencapaian bisa ditingkatkan, maka tingkat pencapaian kemungkinan akan tetap sebaik yang sekarang, atau mungkin akan semakin baik karena ukuran yang memungkinkan semua siswa untuk belajar matematika yang lebih berhasil akan memberikan keuntungan bagi pencapaian yang lebih tinggi, dan mungkin lebih dari mereka yang hanya bisa mencapai tingkat yang lebih rendah.
 (Cockroft,1982, hal. 101)

Dalam hal anak yang pencapaian rendahnya dalam bidang matematika dikaitkan dengan kemampuan umum yang rendah, maka pelajaran matematika perlu secara khusus dirancang guna membentuk jaringan sederhana yang dikaitkan dengan ide dan aplikasi mereka.
 (Cockroft, 1982 hal 98)
Secara keseluruhan, ada asumsi yang menyebar, yang terbukti secara jelas dalam Coskroft (1982), dimana ada hirarki linear pasti dari kemampuan matematika dari yang paling tidak bisa hingga yang paling bisa (atau secara matematis sangat bisa); setiap anak bisa ditempatkan dalam hirarki ini, dan beberapa anak menggantikan posisinya selama masa sekolah.
Satu hasil penting dari adanya stereotip persepsi dan harapan akan siswa adalah adopsi sasaran yang terbatas untuk pendidikan matematis dari siswa yang mencapai lebih rendah. Ruthven memberikan bukti seperti ini, dan menyimpulkan bahwa:
Penekanan aktivitas repetitive, dalam belajar instrumental, dan dalam perhitungan-menunjukkan persepsi stereotip dari kemampuan kognitif siswa yang kurang berhasil dan sasaran kurikulum yang tepat bagi mereka, baik sebagai pelajar maupun sebagai anggota masyarakat.

 (Ruthven, 1987, hal 250)

Kritik Pandangan Hirarkis Belajar Matematika


Pandangan hirarkis belajar matematika berada dalam dua asumsi. Pertama, selama belajar, konsep dan keterampilan diperlukan. Sehingga menurut beberapa pengalaman belajar sebelumnya seorang pelajar akan kekurangan konsep dan keterampilan, dan setelah pengalaman belajar yang tepat dan berhasil, pelajar akan memiliki atau mendapat konsep dan keterampilan. Kedua, kemahiran konsep dan keterampilan matematika tergantung pada kepemilikan konsep dan keterampilan sebelumnya. Hubungan ketergantungan ini berada diantara konsep dan keterampilan yang memberikan struktur pada hirarki belajar. Sehingga untuk mempelajari konsep level n+1, pelajar harus sudah mendapat konsep yang tepat dari level n (namun tidak perlu semua level). Akibatnya, berdasarkan pandangan ini, pengetahuan matematika diatur secara unik dalam jumlah level diskret. Tiap dari dua asumsi ini sifatnya problematik dan terbuka pada kritik.
Hubungan ketergantungan hirarkis antar konsep
Satu asumsi bahwa ada hubungan hirarkis yang pasti dari ketergantungan antara konsep dan keterampilan, yang menghasilkan hirarki yang unik dari konsep dan keterampilan, dua kritik utama bisa dinaikkan melawan asumsi ini. Pertama, hal ini mengisyaratkan bahwa konsep atau keterampilan merupakan entitas yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh pelajar, ini merupakan asumsi kedua, dikritik berikut ini. Namun tanpa asumsi ini tidak bisa diklaim bahwa konsep level n+1, tergantung pada kepemilikan konsep level n. Karena untuk membuat klaim ini bisa mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep atau level n atau n +1.
          Kritik yang lebih substantif adalah bahwa keunikan hirarki belajar tidak ditetapkan secara teoritis atau empirik. Resnick dan Ford (1984) menyimpulkan peninjauan penelitian mereka pada hirarki belajar dengan peringatan bahwa mereka harus digunakan dengan perhatian, dan komentar Gagne tahun 1968 yang tetap valid: hirarki belajar…tidak bisa mewakili rute unik atau yang paling efisien untuk tiap pelajar. (Hal 57).
          Sejumlah penelitian yang membandingkan efek instruksi yang mengikuti urutan konsep yang berbeda dari hirarki yang diajukan (Philips dan Kane, 1973) atau pengetahuan pelajar yang sesuai pada hirarki belajar dalam cara yang halus (Denvir dan Brown, 1986) mengkonfirmasi bahwa tidak ada hirarki yang paling baik menggambarkan urutan atau struktur kemahiran pengetahuan setiap pelajar. Meskipun banyak penulis melaporkan efektivitas dari hirarki belajar untuk urutan instruksi (Bell, 1983; Horon dan Lynn, 1980), faktanya adalah strategi alternatif yang sama efektif seperti “advance organizer, ‘pertanyaan tambahan’ dan ‘deep and principle’ merintangi asumsi hirarki mereka (Begle, 1979; Bell, 1983; Dessart, 1981). Sehingga pengajaran ini tidak memberitahu kita bagaimana pengetahuan pelajar terbentuk.
          Pandangan kognitif ilmuan dan psikolog yang banyak digunakan adalah organisasi (dan sifat) pengetahuan pelajar adalah idiosinkratik, sehingga ini tidak bisa digolongkan pada hirarki tetap tunggal. Sehingga konsep pelajar atau struktur konseptual telah diistilahkan ‘konsepsi alternatif’ atau ‘kerangka alternatif’ (Easley, 1984; Gilbert dan Watts, 1983; Pfundt dan Duit, 1988) Ketika perbedaan ini berada dalam skala mikro, maka pikiran bahwa pemahaman pelajar melampaui topik matematika bisa dipenuhi dalam semua hirarki matematika juga ditolak (Ruthven, 1986, 1987; Noss, 1989)
Konsep sebagai entitas yang diperlukan
Asumsi yang tersisa terkait sifat konsep dan keterampilan matematika, namun perlakuan konsep sendiri cukup untuk menciptakan argumen. Istilah konsep memiliki dua makna psikologis. Pengertian sempitnya adalah atribut atau rangkaian objek. Hal ini bisa didefinisikan secara intensif, dengan mendefinisikan sifat atau secara ekstensif, dalam kaitannya dengan keanggotaan rangkaian. Konsep dalam pengertian ini memungkinkan adanya diskriminasi antara objek tersebut yang berada di bawahnya, dan yang tidak. Konsep dalam pengertian ini sederhana, dan merupakan objek mental yang bersatu. Pengertian yang lebih luas dari konsep adalah struktur konseptual, terdiri dari sejumlah konsep (dalam pengertian sempit) bersama dengan hubungan antara mereka (Bell, 1983). Struktur konseptual juga disebut skema atau konsep dengan interioritas (Skemp, 1979). Hampir semua hal tersebut merujuk pada konsep dalam psikologi matematis, seperti konsep nilai tempat, atau bahkan konsep sepuluh, memiliki pengertian yang lebih luas dari struktur konseptual, karena komponen cabang bisa dibedakan dalam tiap konsep.
          Dengan adanya perbedaan ini, tiga keberatan utama bisa muncul melawan asumsi dimana konsep semuanya diperoleh seketika, atau dimiliki atau kurang bagi pelajar. Pertama, sebagian besar konsep faktanya menggabungkan struktur konseptual, merupakan bukti bahwa konstruksi mereka harus merupakan proses pertumbuhan yang luas. Dalam pandangan interkoneksi yang kompleks antara konsep, kemahiran konsep bisa bertahan lama.
          Kedua, kepemilikan konsep pelajar hanya bisa diwujudkan secara langsung, melalui penggunaannya, karena struktur mental merupakan entitas teoritis yang tidak bisa secara langsung diamati. Namun penggunaan konsep oleh pelajar harus berada dalam beberapa konteks, sehingga konsep dihubungkan dengan konteks penggunaan. Untuk meringkas ‘esensi’ konsep dari konteks penggunaan, dan klaim bahwa esensi ini menunjukkan konsep bersifat presumptive. Pemikiran akhir-akhir ini dalam poin psikologi pada sifat pengertian kontekstual (Brown, 1989; Lave, 1988; Solomon, 1989; Walkerdine, 1988). Ada badan penelitian substansial yang menunjukkan penggunaan konsep atau keterampilan matematika oleh pelajar dalam konteks berbeda yang sangat bermacam-macam (Carraher, 1988; Evans, 1988a). Sehingga pemahaman konsep pelajar berkembang sesuai tingkat konteks penggunaan yang dikuasai, menggali gagasan dimana kemahiran merupakan proses.
          Ketiga, gagasan bahwa konsep secara unik merupakan entitas objektif yang bisa dispesifikasi sifatnya terbuka bagi kritik filosofis dan psikologis, seperti ditunjukkan dalam Bab 4 dan 5. Hal ini diterima secara luas bahwa individu membentuk makna personal. (Novak, 1987). Untuk mengklaim bahwa individu berbeda memiliki konsep yang sama, tidak dikatakan bahwa beberapa entitas objektif yang sama, walaupun abstrak, dimiliki oleh keduanya. Hal ini menunjukkan entitas teoritis hipotetis yang murni. Klaim semacam ni hanya merupakan facon de parler, berarti bahwa dua kinerja individu bisa dibandingkan. Karena mendapat konsep merupakan proses mempengaruhi konstruksi personal idiosinkratik, hal ini tidak lagi valid untuk mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep tertentu.
          Secara keseluruhan, kita melihat bahwa klaim bahwa belajar matematika mengikuti hirarki belajar yang unik tidak bisa dipertahankan. Konstruksi konsep individual dan hubungannya adalah personal dan idiosinkratik, bahkan jika hasil membagi kompetensi. Vergnaud menuliskan:
Hirarki kompetensi matematika tidak mengikuti urutan total organisasi, seperti teori dugaan ketidakberuntungan tahap-tahap, namun lebih satu berurutan parsial: situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan representasi simbolik yang mereka gunakan, dari usia 2 hingga 3 hingga dewasa dan pelatihan profesional, lebih baik dijelaskan oleh skema urutan parsial dimana seseorang menemukan kompetensi yang tidak mengandalkan satu sama lain, meskipun mereka semua memerlukan serangkaian kompetensi yang lebih primitif  dan mungkin semua dibutuhkan untuk rangkaian yang lebih kompleks.
Vergnaud (1983, hal 4)
Konsekuensi untuk Kurikulum Nasional dalam Matematika
Pembahasan ini memiliki konsekuensi untuk kerangka kurikulum hirarkis, dan juga untuk Kurikulum Nasional dalam matematika (Departemen Pendidikan dan Ilmu pengetahuan). Paling penting, tidak ada justifikasi psikologis untuk memaksakan struktur hirarkis yang unik dan pasti pada kurikulum matematika bagi semua anak dari usia 5 hingga 16. Hasil empirik yang dilaporkan di atas sebagian besar fokus pada porsi kecil dari kurikulum matematika dan usia yang dibatasi serta tingkat pencapaian. Bahkan dalam batasan ini, dugaan bahwa hirarki tunggal secara akurat menunjukkan matematika secara psikologis yang harus ditolak. Di luar itu, kita telah melihat bahwa ada alasan teoritis kuat mengapa hirarki tetap tidak bisa menjelaskan belajar siswa. Dipasangkan dengan penolakan epistimologis sebelumnya, hasil merupakan hukuman (kondemnasi) dari kerangka dalam prinsip tanpa penelitian detail dari isinya.
          Hal ini juga penting memperhatikan bahwa sebenarnya semua argumen yang digunakan dalam kritik ini bisa diubah pada area kurikulum lainnya, karena referensi detail pada isi kurikulum nasional belum dibuat.
          Ketika detail isi dari kurikulum nasional dalam bidang Matematika dibawa dalam diskusi, maka mungkin akan ada pembenaran yang bisa diantisipasi. Yaitu, meskipun kurikulum tidak memiliki keharusan epistimologis atau psikologis, namun mungkin mencerminkan pengetahuan yang ada mengenai prestasi anak secara keseluruhan dalam bidang matematika.
          Ada sejumlah pengetahuan substansial yang bisa diperoleh dari prestasi berskala besar yang diuji di Inggris dan negara-negara lain, seperti dalam Assessment of Performance Unit (1985), Hart (1981), Keys dan Foxman (1989), Carpenter (1981), Lindquist (1989) dan Lapointe (1989), Robitaille dan Garden (1989) serta Travers dan Westbury (1989). Informasi semacam ini tak bisa diacuhakan sebagai produk budaya, yang mencerminkan hasil kurikula matematika yang dimediasi oleh struktur institusional sekolah dan sistem penilaian. Meskipun demikian hal ini memberikan garis dasar, sekalipun pragmatis terhadap kurikulum matematika hirarkis yang bisa divalidasi. Informasi tidak perlu benar-benar memaksa kurikulum yang baru, karena mungkin ada alasan yang masuk akal kenapa mengubah aspek dari praktek terdahulu. Namun dengan hal yang memberatkan ini, perkembangan kurikulum berskala besar harus paling tidak mengandung pemeriksaan area kesepakatan dan ketidak-sepakatan dengan penelitian empirik, serta membenarkan dan mengantisipasi deviasi yang besar.
          Kurikulum nasional dalam bidang matematika telah mengabaikan isu semacam ini, dan tidak mencerminkan pengetahuan yang ada. Keohane dan Hart (1989) dan Hart (1989) menunjukkan bahwa level tunggal dari kurikulum yang terencana termasuk isi dimana ada banyak fasilitas yang berbeda-beda. Level empat termasuk dalam program studi untuk anak berusia 8-16 tahun. Dalam studi terhadap sampel yang besar dari anak berusia 11 tahu (Hart, 1981), ada tingkat fasilitas yang tersebar dari 2 persen hingga 95 persen dalam item yang sesuai dengan level pernyataan pencapaian empat.
          Tidak hanya kurikulum nasional bidang matematika saja yang kurang seimbang, namun juga hasil penelitian empirik. The Mathematics Working Group yang pimpin oleh ketua D Graham, tidak memperhatikan masalah ini.
          Kelompok tidak diharapkan untuk mengadakan penelitian berdasarkan rekomendasi dengan mabuk air, namun diharapkan untuk menunjukan praktek yang baik dalam cara yang pragmatis.
 (Nash, 1988, hal 1)

Hal ini menggambarkan fakta bahwa tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum nasional dalam basis penelitian, semuanya dibiarkan berjalan secara empirik. Bahkan hal ini dilakukan secara bersama oleh sebuah komite, yang bekerja sebagai tiga sub komite, dalam beberapa minggu. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kurangnya validitas epistimologis atau psikologis, dalam asumsi hirakisnya. Dengan status yang ada, dan sumber daya yang tersedia, akan semakin lalai terhadap originator (pemerintah). 

Pandangan bahwa Belajar Matematika Sifatnya Hirarkis

Kamis, 22 Desember 2016


Seringkali diklaim bahwa belajar matematika sifatnya hirarkis, berarti bahwa ada item pengetahuan dan keterampilan yang memerlukan prasyarat untuk belajar item pengetahuan matematika. Pandangan semacam ini diwujudkan dalam teori Piaget tentang perkembangan intelektual. Piaget menyatakan rangkaian empat tahap (sensori motor, pre-operasional, operasional konkrit, operasi formal) yang membentuk hirarki perkembangan. Pelajar harus menguasai operasi pada satu tahap sebelum dia siap berpikir dan menjalankan level selanjutnya. Namun aspek hirarki yang kaku dari teori Piaget telah dikritisi (Brown dan Desforges, 1979). Sehingga piaget menciptakan istilah ‘decalage’ untuk menggambarkan kompetensi hirarki yang melampaui (transgressing)
          Psikolog lain yang menyatakan bahwa belajar sifatnya hirarkis adalah Gagne. Dia mengemukakan bahwa topik hanya bisa dipelajari ketika hirarki prasyaratnya telah dipelajari.
          Topik pada (item pengetahuan) pada level tertentu dalam hirarki harus didukung oleh satu atau lebih topik pada level selanjutnya yang lebih rendah….setiap orang tidak akan mampu belajar topik tertentu jika dia gagal mencapai topik bawahnya yang mendukung.
 (Gagne, 1977, hal 166-7)
Gagne menyatakan bahwa dalam pengujian empirik, tidak ada dari topiknya, hirarki muncul lebih dari 3 persen dari hal yang berlawanan.
          Sehingga dua psikolog representatif yang berpengaruh dari tradisi perkembangan dan behaviorist telah membuat penelitian spesial tentang matematika. Dalam pendidikan matematika, ada penelitian empirik yang mempunyai pokok isi untuk menemukan hirarki belajar dalam matematika. Proyek Inggris yang berpengaruh, Concept in Secondary Mathematics and Science, mengajukan sejumlah pemahaman hirarki dalam beberapa area pemikiran matematika (Hart, 1981). Penelitian ini menawarkan delapan level hirarkis dalam tiap topik yang diteliti.
          Teori dan karya empirik merupakan pilihan kecil dari penelitian yang berkaitan dengan identifikasi hirarki dalam belajar matematika. Penelitian semacam ini, bisa dipasangkan dengan pandangan sifat matematika dari para absolutist-foundationist, telah mengarahkan pada kepercayaan yang luas bahwa belajar matematika mengikuti urutan hirarki. Sebagai contoh, pandangan ini disebutkan dalam laporan Cockroft.
         Matematika merupakan subjek yang sulit untuk diajarkan dan dipelajari. Salah satu alasan mengapa demikian adalah matematika merupakan subjek hirarkis…kemampuan untuk memulai karya baru sangat sering tergantung pada pemahaman yang memadai dari satu atau lebih karya, yang sudah ada sebelumnya.
 (Cockroft, 1982, hal 67, penekanan asli)
Pandangan hirarkis dari belajar matematika memiliki ekspresi yang paling baik dalam kurikulum nasional dalam matematika, seperti yang sudah kita lihat (Departemen Pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1989). Ini merupakan spesifikasi hirarkis yang pasti dari kurikulum matematika pada level sepuluh, menetapkan dasar yang diperlukan untuk studi matematika dari semua anak (dalam English dan Welsh state school) dari usia 5 hingga 16 tahun.

Implikasi Pendidikan


Fakta bahwa disiplin matematika tidak memiliki struktur hirarkis unik dan tidak bisa ditunjukkan sebagai kumpulan dalil molekular, memiliki implikasi pendidikan. Namun, pertama hubungan antara disiplin matematika dan isi kurikulum matematika harus dipertimbangkan.
Hubungan antara matematika dan kurikulum
Dua hubungan alternatif adalah  mungkin. (1) Kurikulum matematika harus merupakan seleksi representatif dari disiplin matematika, sekalipun dipilih dan dibentuk sehingga dapat diperoleh untuk pelajar. (2) Kurikulum matematika merupakan entitas independen, yang tidak perlu menunjukkan disiplin matematika. Sebagian besar teoretikus kurikulum menolak kemungkinan kedua, mengemukakan  kasus umum dimana kurikulum harus menunjukkan pengetahuan dan proses penelitian disiplin subjek (Stenhoyse, 1975; Schwab, 1975; Hirst dan Peters, 1970). Bentuk kasus 2 adalah sindiran yang efektif dari Benjamin (1971).
          Studi perubahan kurikulum telah mendokumentasikan bagaimana perkembangan dalam matematika memberikan peningkatan melalui tekanan yang digunakan oleh ahli matematika pada perubahan dalam kurikulum matematika sekolah yang menunjukkan peningkatan ini (Cooper, 1985); Howson, 1981). Lebih umum, dalam pendidikan matematika diterima bahwa isi kurikulum harus menunjukkan sifat disiplin matematika. Penerimaan ini sifatnya implisit atau eksplisit, seperti dalam Thwaites (1979), Confrey (1981) dan Robitaille dan Dirks:
          konstruksi kurikulum matematika….(dihasilkan dari) sejumlah faktor yang berjalan dalam badan matematika untuk memilih dan menyusun kembali isi untuk menjadi lebih tepat bagi kurikulum sekolah.    
(Robitaille dan Dirks, 1982, hal. 3)
Seminar internasional mengenai pendidikan matematika secara eksplit mempertimbangkan kemungkinan bahwa ‘matematika nyata’ tidak akan membentuk dasar kurikulum matematika bagi setiap orang (sebagian besar akan hanya mempelajari ‘matematika yang berguna’) Namun, hal ini berlawanan dengan tiga pilihan lain yang diperhatikan, termasuk pandangan yang paling banyak diterima yang berbeda tetapi  kurikulum yang representatif diperlukan (Howson dan Wilson, 1986)
          Dari kelima ideologi yang dibedakan dalam buku ini, semuanya kecuali pelatih industrial menyokong dengan kuat kasus 1. Sebagai konsekuensi dari survey singkat ini, bisa dikatakan bahwa prinsip bahwa kurikulum matematika harus merupakan seleksi representatif dari disiplin matematika yang menunjukkan konsensus ahli.
          Jika kurikulum matematika digunakan untuk menunjukkan disiplin matematika, maka seharusnya tidak menunjukkan matematika yang memiliki struktur hirarkis yang tetap dan unik. Ada struktur ganda dalam satu teori, dan tidak ada struktur atau hirarki yang bisa dikatakan paling baik. Sehingga kurikulum matematika harus memungkinkan cara penyusunan pengetahuan matematika yang berbeda. Selanjutnya, kurikulum matematika seharusnya tidak menawarkan koleksi dalil terpisah sebagai konstitusi matematika. Bagi komponen matematika disusun dan dihubungkan, dan harus ditunjukkan dalam kurikulum matematika.
          Implikasi pendidikan ini memungkinkan kita untuk mengkritik kurikulum nasional dalam matematika pada dasar epistimologis. Untuk kurikulum matematika ditunjukkan sebagai hirarki unik dari empat belas topik (target pencapaian) pada level 10 (Departemen pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1989). Selanjutnya, pada tiap level, topik ditampilkan oleh sejumlah dalil atau proses, dan penguasaan disiplin matematika dipahami untuk menghasilkan penguasaan komponen berbeda ini. Sehingga kurikulum nasional salah dalam menggambarkan matematika, berlawanan dengan prinsip kurikulum yang diterima. Hal ini mewujudkan hirarki dimana ini tidak dibenarkan dalam istilah sifat matematika, serta menunjukkan pengetahuan matematika sebagai rangkaian fakta dan keterampilan diskret.

          Pembelaan yang mungkin muncul adalah bahwa kurikulum matematika bisa gagal menunjukkan disiplin matematika guna memenuhi tujuan psikologis, seperti menunjukkan hirarki psikologis matematika.

Apakah matematika merupakan rangkaian komponen pengetahuan diskret?

Ada asumsi lebih jauh terkait dengan sifat dan struktur pengetahuan matematis yang layak mendapat pemeriksaan karena impor pendidikannya. Ini merupakan asumsi bahwa matematika dapat dianalisa dalam komponen pengetahuan diskret, jumlah (atau sekumpulan lebih) yang tidak terstruktur dari menunjukkan disiplin. Asumsi ini menunjukkan bahwa dalil matematika sifatnya tidak tergantung makna dan signifikansi.
          Dengan membedakan masalah formal, informal dan tulisan sosial matematika merupakan bukti bahwa klaim ini paling baik dibuat untuk matematika formal. Untuk dua domain yang mengisyaratkan konteks makna, akan dikemukakan berikut ini. Karena struktur merupakan salah satu karakteristik pengetahuan matematika, klaim ini bisa juga berada dalam asumsi yang tidak dibenarkan dimana ada struktur yang unik pada matematika. Hal ini mungkin diperlukan sehingga ketika molekul pengetahuan diskret digabungkan kembali, akan muncul hasil yang tetap dan sebelumnya ditetapkan secara keseluruhan (badan pengetahuan matematika). Kita telah mengatur asumsi kedua di atas. Namun, perkiraan bahwa dalil matematika tidak tergantung pada makna dan signifikansi juga tidak berhasil. Pertama, tanda matematis formal mendapatkan signifikansinya dari teori aksiomatik atau sistem formal dimana mereka terjadi. Tanpa konteks ini mereka akan kehilangan beberapa signifikansinya, dan struktur ditentukan oleh teori akan gagal.
          Kedua, ekspresi matematika formal secara eksplisit mendapat makna semantiknya dari interpretasi atau kelas dari interpretasi yang dimaksud terkait dengan teori dan bahasa formal. Semantik ini merupakan bagian standard dari logika formal Sejak Tarski (1936). Gagasan ini telah diperluas pada perlakuan teori ilmiah formal oleh Sneed (1971), yang menambahkan kelas interpretasi yang dimaksud pada struktur teori formala. Sehingga pemisahan tanda matematika dalam bagian diskret atau yang terisolasi menolak sebagian besar dari signifikansinya dan semua makna semantiknya. Tanda ini akhirnya memiliki klaim kecil yang dianggap sebagai komponen molekular dari pengetahuan matematika.
          Bahkan lebih dari yang di atas, ekspresi dari tulisan matematika informal memiliki makna implisit yang dikaitkan dengan keseluruhan latar belakang teori dan konteks. Bagi aturan dan makna yang mengatur tanda ini tidak memiliki ketentuan formal yang jelas, namun tergantung lebih pada aturan penggunaan implisit (Wittgenstein, 1953). Model semantik dari bahasa formal dan informal menggambarkan konteks utterance (Barwise dan Perry, 1982). Baik ditunjukkan dalam bahasa formal maupun informal, tanda matematika tidak bisa dianggap sebagai makna yang berdiri bebas, dan tidak tergantung. Sehingga matematika tidak bisa ditunjukkan sebagai serangkaian molekular dalil, dalam hal ini tidak menunjukkan hubungan struktural antara dalil, dan kehilangan makna konteks dependen mereka

Apakah Matematika Memiliki Struktur Hirarkis yang Unik?


Pertanyaan ini bisa dianalisis dalam dua bagian, yang terkait dengan keberadaan dan keunikan struktur hirarkis untuk matematika. Sehingga kita memiliki dua pertanyaan cabang: apakah keseluruhan struktur hirarkis pengetahuan matematika ada? Dan jika demikian, apakah ini merupakan struktur hirarkis yang unik dan pasti?
          Hirarki bisa didefinisikan bagi badan pengatahuan matematika dengan keseluruhan struktur. Baik ini merupakan struktur aksiomatik, berdasarkan aksioma dan aturan interferensi, atau struktur definisional, berdasarkan istilah primitif dan selanjutnya istilah yang didefinisikan lalu hirarki yang dapat didefinisikan. Tanda primitif dari hirarki (aksioma atau istilah primitif) terdiri dari level terendah (0). Sekarang ekspresi  E lainnya dalam struktur bisa dicapai dalam beberapa jumlah minimum n dari aplikasi aturan (aturan interferensi atau definisi) dari tanda level 0. Jumlah n ini mendefinisikan level tanda E dalam hirarki. Sehingga setiap tanda ditunjuk pada level unik dalam hirarki. Sehingga badan pengetahuan matematika bisa menjadi bentuk hirarkis resmi yang menetapkan sistem atau struktur matematika tunggal, yang dihubungkan oleh hubungan inferensial atau definisional. Hubungan inferensial adalah yang paling tepat untuk dipertimbangkan, karena menunjukkan hubungan justificatory antara dalil dan rumus matematika, yang memberikan struktur teori aksiomatik deduktif.
          Dengan menggunakan perbedaan antara level formal, informal dan tulisan sosial dari matematika, kita melihat bahwa untuk teori matematika formal yang tepat, hirarki bisa didefinisikan. Sebagai kenyataan penyelidikan matematis informal, hal ini mungkin tidak mungkin dilakukan. Untuk dasar aksiomatik mungkin tidak akan ditetapkan sepenuhnya, dan hubungan logis antara dalil matematika informal mungkin tidak dibuat dengan meyakinkan. Maka berikut ini kita akan fokus hanya pada teori matematika formal, atau teori matematika informal yang siap untuk diformalkan. Sebaliknya untuk kondisi penciptaan hirarki mungkin tidak akuntansi terpenuhi.
          Sekarang kita siap memperhatikan dua pertanyaan. Pertama: apakah semua struktur hirarkis pengetahuan matematika ada? Kita telah melihat bahwa untuk semua teori matematika formal, dengan sekumpulan aksioma tetap, maka ada struktur hirarkis, pilihan aksioma, bersamaan dengan spesifikasi aturan interferensi dan latar belakang bahasa formal, menentukan teori matematika hirarkis. Namun, matematika dibentuk oleh banyak teori yang berbeda, kebanyakan memiliki formulasi aksiomatik yang berbeda. Aksiomatik menetapkan teori misalnya, memiliki sejumlah aksiomatisasi yang cukup berbeda seperti teori Zermelo-Fraenkel dan Teori Godel-Bernays-von-Neuman (Kneebone, 1963). Di luar itu, banyak ahli matematika selanjutnya mengubah teori himpunan aksiomatik yang mereka pelajari dengan menambahkan aksioma lanjut (Jech, 1971; Maddy, 1984)
          Akibatnya, tidak ada keseluruhan struktur bagi matematika formal, karena ini terbentuk dari banyak sekali teori yang berbeda dan pembentukan teori, semuanya dengan struktur dan hirarkinya sendiri. Selanjutnya, sebenarnya setiap satu dari teori aksioma ini tidaklah lengkap, menurut Godel (1931). Maka ada kebenaran teori yang tidak memiliki tempat dalam hirarki deduktif. Seperti yang kita tahu dalam bab sebelumnya, usaha yang dilakukan oleh beberapa ahli matematika hebat dari abad ini untuk menciptakan pengetahuan matematika dalam sistem fondasi tunggal dimana logicist, formalist atau intuitionist, semuanya gagal. Sehingga hasil dari meta-matematika mendorong kita untuk memahami bahwa matematika dibentuk oleh teori keserberagaman yang berbeda, dimana hal ini tidak bisa diturunkan pada sistem tunggal, dan tidak ada dari teori ini yang cukup untuk menangkap semua kebenaran bahkan dalam domain aplikasi yang terbatas.
          Hal ini diikuti oleh pertanyaan mengenai keberadaan seluruh hirarki matematika yang harus dijawab dalam bentuk negatif. Ini tidak bisa ditarik kembali. Namun kita harus mempertimbangkan pertanyaan yang lebih lemah. Apakah struktur matematika informal yang luas dan komprehensif ada, bahkan jika tidak berhasil memenuhi kriteria ketat yang diperlukan untuk memberikan struktur ambigu pada matematika? Struktur ini bisa ditemukan dalam elemen Bourbaki (Kneebone, 1963). Bourbaki memberikan penjelasan matematika sistematik, dimulai dengan menetapkan teori, dan mengembangkan satu setelah muncul teori murni, matematika struktural. Meskipun struktur Bourbaki yang tidak bisa dikatakan lengkap (dalam pengertian informal), karena meninggalkan aspek computasional dan rekursif dari matematika, maka hal ini menunjukkan kodifikasi informal dari porsi substansial matematika. Apakah hal ini memberikan jawaban positif pada pertanyaan lemah? Jika kita mengatakan iya, maka keberatan berikut harus dipikirkan:
  1. porsi signifikan dari pengetahuan matematis diabaikan;
  2. sistem tidak begitu baik secara formal yang memungkinkan hirarki tetap dari pengetahuan matematis dihasilkan;
  3. sistem keseluruhan tergantung pada asumsi teori klasik sebagai fondasi matematika;
  4. seluruh sistem terikat dalam hal budaya, mencerminkan strukturalisme abad pertengahan duapuluh.
Maka hanya dalam bentuk yang sangat lemah kita bisa menyatakan bahwa ada seluruh struktur pada bagian signifikan dari matematika.
          Pertanyaan kedua adalah sebagai berikut. Dengan asumsi bahwa ada struktur keseluruhan pada pengetahuan matematika, apakah ini merupakan struktur tetap dan unik dimana hirarki bisa didasarkan? Pertanyaan ini memiliki dua bagian. Pertama terkait dengan keunikan struktur matematika. Kita telah melihat bahwa bagian kedua ini tidak dapat dipertahankan. Bahkan jika struktur yang diberikan oleh Bourbaki diakui sebagai struktur yang unik, informal dan tidak memadai bagi definisi hirarki yang tepat. Maka dalam pegertian yang tegas, kita bisa mengakui bahwa tidak ada hirarki unik pada matematika.
          Namun mari kita kembali pada keunikan struktur matematika. Keunikan ini tergantung pada persetujuan seperti pada fondasi matematika, Bourbaki mengasumsikan serangkaian fondasi teoritis. Dengan mengabaikan perbedaan antara teori bisakah teori yang memberikan keunikan menyetujui dasar bagi matematika? Pertanyaan ini harus dijawab dalam bentuk negatif. Kita telah melihat bahwa Foundationist mengklaim bahwa matematika berada dalam kegagalan fondasi yang unik. Paling tidak dua alternatif pada fondasi teoritis dalam matematika ada. Pertama, telah diklaim bahwa Teori Kategori bisa memberikan dasar alternatif matematika, dalam tempat teori himpunan (Lawvere, 1966). Klaim ini belum sepenuhnya dibenarkan, namun meski demikian ini merupakan tantangan bagi keunikan fondasi teoritik himpunan. Ada cabang teori kategori (teori Topos) yang kedua-duanya logika intuisi dan klasik dapat diturunkan (Bell, 1981). Karena teori himpunan dapat ditunjukkan dalam logika klasik urutan pertama, maka bisa diturunkan untuk teori kategori.
          Kedua, logika intuisionis memberikan fondasi bagi matematika. Meskipun tidak semua matematika bisa ditunjukkan dalam kaitannya dengan basis ini, sebagian besar dari program telah direalisasikan untuk analisis, oleh Bishop (1967) dan yang lainnya. Oleh karena itu logika intuisionist mengakomodir matematika combinatioral, tidak seperti fondasi teoriti himpunan dari matematika klasik. Sehingga dalam basis dua argumen ini, klaim bahwa ada struktur unik pada matematika disangkal.
          Kenyataannya, sejarah matematika mengajarkan pada kita pelajaran yang berlawanan. Dalam keseluruhan perkembangan perubahan matematika melalui restrukturisasi fundamental dari konsep matematika, teori dan pengetahuan (Lakatos, 1976). Sehingga meskipun struktur memainkan peran sentral dalm pengatyran pengetahuan matematika, mereka merupakan struktur ganda yang membentuk, membubarkan dan mereformasi sejalannya waktu. Tidak ada dasar untuk mengasumsikan bahwa proses ini mungkin akan berhenti, atau dengan asumsi bahwa teori alternatif dan reformulasi akan melelahkan. Pandangan semacam ini sangatlah penting bagi konstruktivisme sosial, dan bagi filosofi matematika lain yang mengakui dasar historisnya. Sehingga benar bahwa pada satu waktu matematika bisa digambarkan dengan struktur hirarkis tunggal yang unik, serta kapanpun ketika struktur menunjukkan perubahan dan berkembang.

          Dalam menyangkal klaim bahwa matematika memiliki struktur hirarkis yang unik, perhatian telah dibatasi pada logika, yang merupakan struktur teori  matematika deduktif. Seperti yang sudah kita lihat hirarki bisa didefinisikan dengan cara lain, khususnya sebagai hirarki istilah dan definisi. Ketika hal ini tidak begitu signifikan dalam matematika sebagai struktur deduktif, argumen yang sama bisa diubah pada bidang ini. Untuk struktur deduktif dari sebarang teori yang membawa hirarki definisi, dan hampir seperti banyak struktur definisional yang ada sebagai sesuatu yang deduktif. Sehingga tidak ada hirarki yang unik dari definisi. Hirarki global sedang digunakan dalam matematika. Dalam teori individu atau domain beberapa hirarki tentunya hal ini tidak ada, seperti derajat Turing (tidak bisa dipecahkan) dalam teori rekursi (Bell dan Machover, 1977). Namun hal ini tidak memiliki struktur bahkan dalam pecahan signifikan dari pengetahuan matematika. Maka bisa dinyatakan dengan tegas bahwa matematika tidak memiliki seluruh struktur hirarkis, dan tentunya bukanlah sesuatu yang unik, bahkan ketika klaim diinterpretasikan dengan baik dan bebas.

Kekuatan Model

Rabu, 21 Desember 2016


Model  teoritis  grounded


Pendidikan matematika telah dikritik oleh sejumlah penulis untuk menjadi upaya
atheoretical (lihat, sebagai contoh, Bauersfeld 1979). Model ini menggabungkan sejumlah landasan teoritis. Ini termasuk filsafat matematika, teori perkembangan intelektual dan etika, dan teori sosiologis-historis. Dengan menggabungkan seperangkat ide-ide dari sumber-sumber model ini yang  memiliki kebajikan yang secara teoritis juga beralasan.


Model akomodasi kompleksitas


Dengan membedakan lima ideologi dan kelompok kepentingan, model mampu
mengakomodasi beberapa kompleksitas sejarah kurikulum matematika.
Ini merupakan lanjutan atas model sebelumnya dan karena karakterisasi yang lebih halus, lebih mampu memperhitungkan kompleksitas ideologi dan kepentingan yang mendasari berbagai set tujuan untuk kurikulum matematika. Ini mengakui bahwa konflik tujuan dan kepentingan mungkin terletak di belakang perbedaan perkembangan pendidikan, dan dengan demikian merupakan perbaikan pada yang menganggap konsensus.

Model  yang dapat diterapkani

Model ini menyediakan alat yang kritsis untuk mengidentifikasi tujuan yang berbeda dan ideologi tersirat dalam proyek kurikulum matematika, laporan dan reformasi. Hal ini digunakan dengan cara, di bawah ini. Hal ini juga harus berlaku diluar matematika  untuk area lain dari kurikulum sekolah, karena didasarkan pada lima kelompok kepentingan yang melampaui pendidikan matematika

Kritik terhadap Model


Gabungan sewenang-wenamg  filsafat , nilai-nilai dan kelompok


Kritik pertama dari model ini adalah bahwa bahwa kesewenang-wenangan dalam pemilihan jenis komponen utama, link mereka, dan identifikasi mereka dalam setiap lima ideologi. Ini memiliki beberapa fondasi. Model ini spekulatif dan interdisiplin, gambaran
bersama elemen filsafat, psikologi, sosiologi dan sejarah, baik didalam dan diluar pendidikan matematika. Sedangkan bagian-bagian penyusunnya didasarkan baik dalam perbedaan disiplin teoritis,  keseluruhan sintesis diakui bersifat terkaan. Karenanya tidak ada finalitas yang diklaim untuk daftar komponen dalam model, yang digabung bersama oleh asosiasi masuk akal daripada logika.


Menyederhanakan model asumsi


Model, dari kebutuhan, tergantung pada banyak menyederhanakan asumsi. Hal ini diasumsikan bahwa ideologi tunggal dan kepentingan kelompok mempertahankan identitasnya terhadap bagian dari waktu perlakuan, meskipun perubahan besar-besaran dalam pengetahuan, masyarakat dan pendidikan. Dalam setiap  kelompok segmen yang berbeda  dapat membentuk, mengikat-eratkan bersama dalam aliansi, membubarkan, atau istirahat pergi memberikan gambaran secara keseluruhan dari fluks dan perubahan. Ini mengasumsikan bahwa lima kelompok diwakili baik didalam dan diluar pendidikan matematika, dan tidak membedakan antara segmen divergen dalam setiap kelompok. Ini juga mengasumsikan bahwa lima posisi tersebut diskrit, dan bahwa individu atau sektor dapat secara unik ditugaskan untuk salah satu dari mereka. Sebaliknya, sangat mungkin bahwa tujuan dari dua atau lebih dari posisi yang diadopsi oleh individu atau kelompok. Masing-masing mewakili menyederhanakan asumsi. Di sisi lain, tanpa asumsi semacam itu, tidak ada model global yang mungkin.


Kurikulum matematika yang direncanakan versus diajarkan


Model ini menyangkut ideologi pendidikan matematika, dan tidak mempertimbangkan
perbedaan antara, direncanakan, diimplementasikan dan kurikulum matematika yang diajarkan. Penelitian terbaru, baik teoritis dan empiris, telah menekankan kesenjangan
yang ada antara tiga tingkatan kurikulum. Model ini hanya memperlakukan
tingkat atas, tujuan dan ideologi yang mendasari kurikulum matematika yang direncanakan. Jadi pertanyaannya tetap: yang mana sumber atau faktor intervensi antara tujuan, niat dan ideologi dan pelaksanaannya dalam kurikulum matematika?

Evaluasi Kritis dari Perspektif Pendidik Masyarakat

                                    
Kekuatan

 
Pertama, perspektif pendidik masyarakat, dari yang dianggap, sebagian besar merupakan perwujudan   dan kelanjutan demokrasi dalam tujuannya untuk pendidikan matematika. Hal ini hanya ideologi dengan tujuan eksplisit meningkatkan realisasi-diri pelajar baik sebagai manusia yang otonom dan sebagai anggota masyarakat. Hal ini juga satu-satunya ideologi yang berkomitmen penuh untuk keadilan sosial, sehubungan dengan  implikasi penyediaan sosial dan politik  'matematika untuk semua', atau lebih baik 'matematika oleh semua', terutama bagi kelompok sosial kurang beruntung (Volmink, 1990). Ini mempromosikan visi  'pendidikan matematika sosialis ' mengajar matematika untuk semua, untuk 'kewarganegaraan dalam masyarakat  teknologi' (Swetz, 1978, halaman 3). Dengan demikian, tujuan pendidik masyarakat memprhatikan pendidikan matematika berdasarkan prinsip sosialis demokratis dan nilai-nilai.


Ini harus dibedakan dari pendidikan matematika dalam 'masyarakat sosialis', yang dijelaskan oleh Swetz, karena dari kontra “ideologi teoritis vs realisasi  praktis" (Howson, 1980). Untuk selain dari kenyataan bahwa tidak ada negara sosialis yang pernah menganut  sepenuhnya tujuan pendidik masyarakat, ada juga risiko bahwa di negara-negara seperti kepentingan individu bisa hilang atau tenggelam dalam pendidikan didorong oleh beberapa pengertian tentang 'baik kolektif' tersebut.

Kedua, perspektif ini hanya untuk mengakomodasi fallibilist atau konstruktivis sosial filsafat matematika, mewakili pemikiran kontemporer terdepan. Akibatnya kurikulum matematika pendidik masyarakat mencerminkan sifat matematika sebagai lembaga sosial, dengan semua kekuatan implikasi pendidikan dari perspektif ini. Peran ras yang berbeda, negara  dan
perempuan dalam penciptaan matematika yang diakui, mengarah pada penolakan mitos kepemilikan laki-laki kulit putih matematika Eropa. Juga, sejarah dan konteks manusia matematika menjadi sangat sentral, menyebabkan kurang mengasingkan dan menakjubkan citra matematika, dan sehingga menimbulkan satu yang lebih humanistik dan ramah. Pengakuan dari falibilitas matematika menyangkal sentralitas dari konsep kebenaran atau kesalahan siswa dalam matematika, yang merupakan kontributor yang kuat untuk sikap negatif dan mathephobia.


Secara keseluruhan, perspektif ini memiliki kekuatan baik dari segi etis dan basis epistemologis, dan terjemahan ini menjadi tujuan pendidikan.


Kelemahan


Perspektif pendidik masyarakat dan tujuan menghadapi sejumlah kelemahan, terutama berkaitan dengan masalah pelaksanaan, tetapi juga karena sejumlah kontradiksi dalam ideologi.


Membuat pendidikan matematika kontroversial

Pertama, terdapat masalah yang kontroversial dari perspektif pendidik masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan. Ini telah diakui oleh seminar ICMI pada matematika sekolah di tahun 1990-an dalam suatu diskusi tentang peran sosial matematika yang membedakan dua pilihan, dan hasil-hasil negatif yang mungkin timbul.


Alternatif 1 Matematika adalah netral, dan yang terbaik diajarkan dalam isolasi dari
perbedatan isu-isu sosial.


...


Alternatif 2 Sejak matematika menopang baik  teknologi  dalam semua
bentuk perwujudan, dan kebijakan yang menentukan bagaimana matematika digunakan, pengajarannya sengaja harus berkaitan dengan isu ini.


Konsekuensi: 1 Hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Memang banyak-jika tidak sebagian besar-guru matematika tidak akan melihatnya sebagai bagian dari tugas mereka untuk menyentuh sosial dan perdebatan isu


                       2 Pemerintah cenderung merespon negatif. Ini telah terjadi di beberapa negara yang telah berusaha untuk menyertakan komponen 'tanggung jawab sosial' dalam pengajaran fisika.


(Howson dan Wilson, 1986, halaman 5)


Tujuan pendidik masyarakat, dan nilai-nilai yang mendasari mereka, mewakili sebuah 'politisasi' pendidikan matematika (Noddings, 1987). Untuk penonton dari empat kelompok ideologis lainnya, tujuan ini tidak sesuai dengan kemutlakan filsafat matematika mereka sendiri, yang melihat disiplin sebagai tidak bermasalah, netral dan bebas nilai.
Perspektif ini, oleh karena itu, menyangkal bahwa nilai-nilai sosial dan politik bisa masuk kedalam mengajar matematika murni untuk alasan epistemologis dan pendidikan. Sebaliknya,
pendekatan pendidik masyarakat, dengan sengaja mengobati perdebatan isu-isu sosial dan politik, yang beresiko menjadi terlihat sebagai upaya untuk menumbangkan pendidikan matematika menjadi kegiatan propagandis2.   Dalam kasus ekstrim, dapat ditafsirkan sebagai upaya oleh Marxis untuk merendahkan pendidikan matematika menjadi suatu ideologi politik, dengan politik murni (sebagai lawan pendidikan) berakhir dalam pikiran. Seperti persepsi oleh orang tua, administrator pendidikan atau politisi, jika cukup luas, mungkin untuk memimpin intervensi dalam kurikulum matematika.


Pertimbangan ini tidak dapat diabaikan oleh para pendukung kurikulum matematika pendidik masyarakat. Kenyataan bahwa pelaksanaan mungkin akan bertemu dengan kontroversi dan oposisi harus diantisipasi. Dua strategi yang telah diusulkan untuk mengurangi risiko ini adalah dengan menawarkan kursus murni tersebut sebagai pilihan (Abraham dan Bibby, 1988), dan menawarkan itu diluar mainstream sekolah  untuk orang dewasa datang kembali ke pendidikan (Frankenstein, 1989). Respon ini menghindari konfrontasi dengan meminggirkan pendekatan pendidik masyarakat.


Ini seperangkat masalah pertama yang menimbulkan pertanyaan: apakah setiap sistem politik benar-benar ingin kurikulum pendidik masyarakat  untuk mendidik warga negaranya dengan  pertanyaan kritisnya diterbitkan secara statistik, dan asumsi matematis dan model yang mendasari pengambil keputusan politis?


Mengenalkan konflik ke dalam kelas


Area masalah kedua juga konsen dengan kontroversi dan konflik, tetapi dalam kelas. Pengenalan perdebatan isu-isu sosial dan politik, dan dorongan dari siswa mempertanyakan subyek pelajaran, pedagogik  dan assesmen akan dengan desain yang menimbulkan konflik dan kontroversi di dalam kelas. Disamping masalah yang dijelaskan di atas, ini mungkin berbeda secara radikal dari mode mengajar peserta didik telah berpengalaman sebelumnya atau di tempat lain dan dapat meresahkan dan mengganggu peserta didik. Secara Kontroversi, konflik dan argumen rasional tidak hanya hilang dari banyak praktek pendidikan, tetapi juga asing bagi kebanyakan latar belakang budaya peserta didik. Jadi aspek pendekatan pendidik masyarakat ini dapat menyebabkan ketidakcocokan dan krisis bagi peserta didik. Hal ini menimbulkan pertanyaan:   bagaimana secara etis dibenarkan pendekatan konfliktual ini, mengingat akibatnya bagi siswa yang dapat diantisipasi?


Para guru di Inggris memiliki tanggungjawab profesional  untuk bertindak dalam orangtua  gila (loco parentis),  untuk menyediakan pendidikan pribadi, sosial dan moral sebagai tutor dan konselor, dan dengan pribadi contoh. Jadi, misalnya, sejumlah besar anak-anak dari latar belakang emosional tidak stabil  bisa mendapatkan rasa aman dari stabilitas hubungan mereka
dengan guru. Pertanyaan diajukan adalah akankah kurikulum matematika pendidik masyarakat mengancam keamanan anak-anak dan karenanya menyebabkan hasil destruktif sebagai lawan konstruktif ? Tentu jawaban harus tergantung pada konteks spesifik dan implementasi. Namun, mungkin bahwa kurikulum matematika pendidik masyarakat
tidak harus sepenuhnya dilaksanakan sampai dengan tahun terakhir pendidikan, dan bahwa untuk kontroversi pelajar yang lebih muda dan konflik harus dihindari. Di sisi lain,
konflik antara pelajar muda selama jawaban atas masalah matematika merupakan strategi pembelajaran  yang  sangat efektif (Cobb, 1987, Yackel, 1987) .3


Propaganda Kelas


Ketiga, penerimaan isu-isu sosial, budaya dan politik ke dalam kurikulum matematika
membuka pintu untuk pengaruh pada atau manipulasi terang-terangan dari kurikulum 
matematika oleh kelompok komersial dan politik. Dari perspektif ideologi sendiri tujuan pendidik masyarakat untuk pendidikan matematika yang terlihat bersifat demokratis, memberdayakan dan tidak memihak. Namun evaluasi ini tidak sama dengan  posisi ideologi lain, yang mungkin merasa bahwa seperangkat nilai-nilai itu perlu  dipromosikan. Mengingat kesempatan yang diberikan oleh penggabungan isu sosial dan politik ke dalam kurikulum matematika, seperti kelompok, yang mungkin lebih kuat daripada pengelompokan pendidik masyarakat, dapat menumbangkan bertujuan untuk tujuan akhir mereka sendiri.


Sebuah kasus ekstrim disediakan dalam ilmu pengetahuan, dimana usaha yang serius dilakukan oleh kelompok-kelompok fundamentalis Kristen di Amerika Serikat untuk mengganti atau menyeimbangkan pengajaran teori evolusi di sekolah yang sama dengan 'penciptaan ilmu', meskipun tidak  berdiri  secara akademik. Di Inggris, materi kelas dihasilkan untuk sekolah oleh beberapa kelompok komersial, untuk membangun masyarakat misalnya, telah mengkritik untuk mempromosikan kepentingan sektor mereka dengan mengorbankan penawaran pelajar sebuah pandangan yang seimbang secara keseluruhan faktor-faktor komersial yang terlibat (Nasional Konsumen Council, 1986). Jadi politik langsung  dan tekanan komersial pada kurikulum sekolah sudah ada. Sehingga kepentingan kelompok tersebut cenderung untuk melebihkan pengelompokan pendidik masyarakat  dari segi baik kekuasaan politik dan sumber daya keuangan. Dengan demikian, ada risiko bahwa kurikulum matematika pendidik masyarakat akan ditumbangkan dan dieksploitasi oleh kepentingan politik dan komersial, untuk  akhir mereka sendiri .4

Kontradiksi

Keempat, terdapat sejumlah kontradiksi, atau mungkin timbul dari kurikulum matematika 
pendidik masyarakat. Beberapa sudah pernah dibahas, seperti konflik versus stabilitas, kepercayaan versus ancaman, dan pemikiran kritis versus indoktrinasi. Tetapi beberapa kontradiksi tetap kuat.


Pemberdayaan pribadi versus keberhasilan ujian: Meskipun kami sebut di atas, harus
diakui bahwa ini adalah sumber konflik yang serius. Ini paralel antara perbedaan 
S-rasional dan I-rasional di bidang pendidikan (Mellin-Olsen, 1987), dan bahwa
antara pemahaman Relasional dan Instrumental (Mellin-Olsen, 1981; Skemp,1976). Penggunaan contoh, prosedur, dan strategi yang tidak langsung berlaku dalam konteks assesmen eksternal dikenakan kemungkinan akan diserang oleh beberapa siswa, orang tua, dan lain-lain didalam dan tanpa sistem pendidikan. Selanjutnya, pendidik masyarakat memiliki tugas untuk kedua tujuan yang bertentangan.


Ethnomathematics vs matematika abstrak: terdapat konflik antara lokasi matematika dalam dunia pengalaman siswa, dan kebutuhan untuk mengajar  matematika teoritis untuk menyediakan alat-alat berpikir yang kuat dari matematika abstrak. Paralel ini konflik antara penanaman sosial dan aplikasi matematika yang relevan dan struktur akademik matematika  dan teori. Sejumlah penulis telah menunjuk bahaya kurikulum 'ghetto' terbatas
(Dewey, 1966; Layton, 1973; Abraham dan Bibby, 1988; Jones, 1989). Memang Gramsci
(1971) berpendapat bahwa pengalaman budaya sempit anak kelas pekerja  merupakan
hambatan bagi pengembangan pemikiran abstrak dan kritis. Masalahnya adalah untuk memindahkan dari sosial atau situasi konkret penanaman matematis untuk konten teoretis mereka, tanpa kehilangan makna dan beralih ke dunia baru, wacana real yang tidak terhubung. Namun, pengamatan Johnson (1989) menunjukkan bahwa hasil yang umum, bahkan dalam gerak terencana dari praktis menuju matematika formal  kelas tunggal.



Tidak ada cara untuk menghindari konflik. Mereka harus diakui dan dibahas dalam setiap kurikulum pendidik masyarakat.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS