Pages

Ahli Lama sebagai Pemisahan Kemutlakan Nisbian

Minggu, 18 Desember 2016


William (1961) mengidentifikasi ‘ahli lama’, yang menilai para ahli meneliti untuk diri mereka sendiri. Banyak penelitian telah menggunakan matematika sejak dulu. Plato, sebagai contohnya, menganjurkan penelitian tentang kedisiplinan murni dengan ‘kekuatan pembentukan mata batin dari bahan dunia sebagai objek berpikir murni… menghasilkan sejumlah ilmu tentang objek dan kebenaran abadi berdasarkan teori dari pada kenyataan’. (Plato, 1941, halaman 230). Hanya subjek murni (termasuk matematika) yang dianggap sebagai bahan yang tepat untuk dipelajari, ilmu yang disarankan dan ‘keterampilan penuntun… semuanya cukup merendahkan’. (Plato, 1941, halaman 232).
Sekitar 500 SM Boethius mempengaruhi kandungan ‘pendidikan budaya’, yang dia tentukan untuk memasukkan trivium tata bahasa, logika dan retorik, sebaik quadrivium matematika. Kurikulum ini bertahan sebagai bagian pembelajaran pada universitas-universitas baru seperti Oxford dan Cambridge sekitar akhir abad ke-14. Beberapa pembelajaran diolah untuk dirinya sendiri. Bagaimanapun, hal ini juga menyediakan akses pada keadaan dan kekuatan, lulusan universitas-universitas ini mencapai karyawan tertinggi gereja dan negara bagian (Howson, 1982).
Selama pembangunan kembali, pada kekuasaan Aristoteles dan orang-orang gereja di dunia terpelajar semakin menyusut, pengaruh Plato dan ide-ide novel lainnya tumbuh. Sebagai konsekuensinya,
Para ahli, sarjana seperti Erasmus (1466-1536), percaya akan kekuatan kepandaian manusia dan pada nilai mempelajari pekerjaan seseorang yang hebat… ‘Hal ini merupakan pengganti kemanusiaan untuk ketuhanan, untuk dunia ini selanjutnya, sebagai objek kehidupan, oleh karena itu pendidikan, yang dibedakan para ahli dari pendahulu mereka… Kemajuan para ahli terdapat dalam pengangkatan ajaran. ‘Pelajaran paling berharga bagi umat manusia adalah manusia’
(Leach, dikutip dari Hownson, 1982, halaman 9)
Kutipan ini mengindikasi asal-usul dari nama ‘ahli lama’, meskipun pusat ide dari tradisi telah hampir selama 2000 tahun.
Sekitar pertengahan abad terakhir, penyensor junior dari gereja Kristen, Oxford, mengindikasi kelanjutan pegangan tradisi, dalam penjelasannya tentang penelitian awal pada mahasiswa.
Sebuah pasangan permainan Euripide, Virgil kecil, dua buku tentang Euclid, atau sepertinya, bentuk jabatan sebuah bagian besar dari orang-orang kami selama tahun pertama kuliah mereka.
(Kementrian Pendidikan, 1958, halaman 2)
Sehingga para ahli lama menahan sampai masa modern, ditunjukkan dengan budaya dan pendidikan kelas menengah dan pendidikan tardisional kaum elit. Kelompok ini menilai ‘pendidikan budaya’ dalam pengertiannya, untuk sumbangannya kepada orang berbudaya atau berpendidikan; dan menolak atau menganggap remeh pengetahuan teknis atau praktis (Williams, 1961). Menurut Hirst dan Peters, kelompok ini mencapai kejayaan di abad lalu.
Maksud ‘terpelajar’ sebagai penggambaran seluruh perkembangan moral seseorang, secara intelektual dan spiritual hanya ada di abad ke-19… meskipun sebelum abad ke-19 telah terdapat pikiran tentang seseorang yang terlatih… istilah ‘orang terpelajar’ bukanlah sesuatu yang biasa untuk menggambarkan perhatian untuk pikiran ini. Sekarang ini… konsep seorang terpelajar sebagai sebuah idaman sudah cukup berkembang… [Tapi] bagi kami pendidikan tidak lebih cocok dengan apapun yang sedikit mengandung akhir.
(Hirst dan Peters, 1970, halaman 24)
Seorang guru mungkin mengajar sebuah pelajaran seperti IPA dengan jurusan murni atau dalam pandangan akhir yang ekonomis… melengkapi orang-orang untuk penjurusan atau melayani sebuah kebutuhan nasional dengan tenaga manusia terlatih, tanpa banyak berpikir tentang perkembangan individu yang terkait, sebagai individu… Tapi mengajar orang dengan pandangan akhir yang terbatas harus dibedakan dari mendidik orang.
(Hirst dan Peters, 1970, halaman 28)
Unsur pusat dari ideologi ini adalah bahwa pendidikan dan pengetahuan adalah baik, sebuah akhir dalam diri mereka, dan bukan sebuah arti untuk penyewa, akhir yang bermanfaat. Sehingga, menurut Cardinal Newman, seorang ahli lama terkemuka di abad lalu:
Meskipun yang bermanfaat tak selalu baik, yang baik selalu bermanfaat… Pengetahuan mampu menjadi akhir dari dirinya sendiri. Seperti halnya dasar pikiran manusia yang berupa berbagai macam pengetahuan, jika hal ini benar demikian, hal ini merupakan hadiah… Pengetahuan tidak hanya bermanfaat dan kebetulan belaka, yang merupakan milik kita hari ini maupun besok… yang dapat kita bawa ketika ada kesempatan, kita genggam dalam tangan lalu membawanya ke pasar; ini adalah sebuah cahaya yang kita peroleh, ini adalah sebuah kebiasaan, sebuah barang pribadi kita, dan anugrah kita.
(Brent, 1978, halaman 61)
Young mengidentifikasi para ahli lama sebagai bagian dari ideologi ‘budaya/konservatif’, yang mula-mula turun dari ‘kaum ningrat’ yang mengelompokkan pendidikan politik yang merupakan ‘non-kejuruan – orang ‘terpelajar’, sebuah penekanan karakter’ (Young, 1971a, halaman 29).
Analisis serupa dibuat orang lain. Raynor (1972) menggambarkan Ideologi aristokratis pendidikan, yang melihat pendidikan sebagai harta untuk menyiapkan kaum muda untuk peran sosialnya sebagai orang kaya atau pemimpin. Cosin (1972) menggambarkan perspektif kaum elit/konservatif yang diperhatikan untuk mengurus standar keunggulan budaya melalui metode penyeleksian.
Arus utama para ahli lama melihat budaya dan pembentukan karakter dalam pendidikan adalah tradisi sekolah umum di Inggris. Hal ini telah mempertahankan subjek tradisional dan pandangan kaum elit tentang pengetahuan sebagai kemurnian dan tak berhubungan dengan kebutuhan mendesak dalam hidup, sebaik selalu mengantar anak-anak menuju aristokrasi dan kaum ningrat (Meighan, 1986).
Sekolah umum [menyediakan] jalan masuk menuju ‘kelas kepemimpinan’… Dalam banyak pendapat, sekolah umum telah sukses… Namun subjek yang mereka ajar terlalu sering mengurung ke dalam hal klasik untuk menemui semua keperluan usia baru, meskipun mereka membentuk dasar untuk sebuah perkembangan tinggi dari budaya di Oxford dan Cambridge, pada kebanyakan Inggris Tennyson. Dalam dunia kecil kehidupan ‘sekolah umum’… karakter memperoleh lebih dari sekedar keaslian.
(Trevelyan, 1944, halaman 520)
Ada banyak pendukung modern sudut pandang para ahli lama, yang menekankan nilai kedisiplinan tradisional dan budaya jauh di atas ilmu teknik maupun praktek.
Pengertian budaya harus mendahului keterampilan teknis; pada cara ini kejadian yang kebetulan terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan ditemukan oleh pikiran yang telah mempersiapkan pertemuan seperti kebetulan dengan mengacu pada hukum filosofi dan pengertian kontekstual.
(Bantock, 1975, halaman 15)
Tujuan perkuliahan adalah sebuah kepercayaan pada kebudayaan, peradaban, dan kecaman yang tak memihak… fungsinya adalah untuk membudayakan, memperbaiki, dengan kesadaran diri untuk ‘membuat’ kebudayaan… [Hal ini terancam oleh] tekanan untuk melakukan –untuk menjawab kebutuhan social, kebutuhan teknologi, kebutuhan industry, kebutuhan ekonomi.
(Cox dan Dyson, 1969, halaman 60)
Pengetahuan manusia yang diwujudkan dalam kebudayaan tinggi terlihat berharga pada hakekatnya, dan tentunya, untuk membenarkan system kasta.
Kasta memiliki sebuah fungsi, yaitu mempertahankan bagian keseluruhan budaya masyarakat yang tergolong pada kasta tersebut… pada masyarakat sehat pertahanan tingkat kebudayaan tertentu ini bermanfaat, bukan sekedar kasta yang mempertahankannya, namun juga keseluruhan masyarakat.
(Eliot, 1948, halaman 35)
Beberapa pernyataan meniru gaya ‘dosen-dosen’ universitas Oxford dan Cambridge, yang menolak bahan praktek dengan memihak alasan murni dan kebudayaan. Mereka membuat kecanggihan manusia (sebagai lawan dari kecanggihan teknologi) dari dua budaya yang dibedakan oleh C. P. Snow (Mills, 1970).
Para ahli lama juga patut pada pandangan ‘klasik’ kurikulum, dengan penekanannya pada struktur dan penalaran, dan di atas semua keungulan dan kebudayaan.
Gagasan keunggulan, menurut sejarah, cenderung menuju pada ‘ajaran’ Yunani. Hal ini menegaskan kualitas dan reputasi serta standarnya yang konsisten dan objektif. Dalam tradisi klasik hal ini akhirnya menunjukkan sebuah penekanan pada budaya tinggi… [Dalam] tradisi klasik, kebudayaan tergantung pada peralatan berkonsep hebat, dugaan yang stabil, dan sebuah komunitas terpandang.
(Jenkins, 1975, halaman 18-19)
Para ahli lama ‘menolak bahwa kesehatan spiritual manusia bergantung pada sejenis pendidikan yang lebih dari sekedar pelatihan untuk pekerjaan khusus, semacam penggambaran dengan berbagai cara sebagai “kebebasan”, “penyayang”, atau “kebudayaan”.’
(Williams, 1961, halaman 162)

William menggambarkan perlawanan disebabkan oleh para ahli lama yang melawan pengajaran subjek ilmu pengetahuan, teknologi, maupun praktek. Hal ini tidak termasuk matematika murni yang dipertimbangkan untuk mengembangkan kapasitas pemikiran murni, dasar penalaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS