William
(1961) mengidentifikasi ‘ahli lama’, yang menilai para ahli meneliti untuk diri
mereka sendiri. Banyak penelitian telah menggunakan matematika sejak dulu.
Plato, sebagai contohnya, menganjurkan penelitian tentang kedisiplinan murni
dengan ‘kekuatan pembentukan mata batin dari bahan dunia sebagai objek berpikir
murni… menghasilkan sejumlah ilmu tentang objek dan kebenaran abadi berdasarkan
teori dari pada kenyataan’. (Plato, 1941, halaman 230). Hanya subjek murni
(termasuk matematika) yang dianggap sebagai bahan yang tepat untuk dipelajari,
ilmu yang disarankan dan ‘keterampilan penuntun… semuanya cukup merendahkan’.
(Plato, 1941, halaman 232).
Sekitar
500 SM Boethius mempengaruhi kandungan ‘pendidikan budaya’, yang dia tentukan
untuk memasukkan trivium tata bahasa, logika dan retorik, sebaik quadrivium
matematika. Kurikulum ini bertahan sebagai bagian pembelajaran pada universitas-universitas
baru seperti Oxford dan Cambridge sekitar akhir abad ke-14. Beberapa
pembelajaran diolah untuk dirinya sendiri. Bagaimanapun, hal ini juga
menyediakan akses pada keadaan dan kekuatan, lulusan universitas-universitas
ini mencapai karyawan tertinggi gereja dan negara bagian (Howson, 1982).
Selama
pembangunan kembali, pada kekuasaan Aristoteles dan orang-orang gereja di dunia
terpelajar semakin menyusut, pengaruh Plato dan ide-ide novel lainnya tumbuh.
Sebagai konsekuensinya,
Para ahli, sarjana
seperti Erasmus (1466-1536), percaya akan kekuatan kepandaian manusia dan pada
nilai mempelajari pekerjaan seseorang yang hebat… ‘Hal ini merupakan pengganti
kemanusiaan untuk ketuhanan, untuk dunia ini selanjutnya, sebagai objek
kehidupan, oleh karena itu pendidikan, yang dibedakan para ahli dari pendahulu
mereka… Kemajuan para ahli terdapat dalam pengangkatan ajaran. ‘Pelajaran paling berharga bagi umat manusia
adalah manusia’
(Leach, dikutip
dari Hownson, 1982, halaman 9)
Kutipan
ini mengindikasi asal-usul dari nama ‘ahli lama’, meskipun pusat ide dari
tradisi telah hampir selama 2000 tahun.
Sekitar
pertengahan abad terakhir, penyensor junior dari gereja Kristen, Oxford,
mengindikasi kelanjutan pegangan tradisi, dalam penjelasannya tentang
penelitian awal pada mahasiswa.
Sebuah pasangan
permainan Euripide, Virgil kecil, dua buku tentang Euclid, atau sepertinya,
bentuk jabatan sebuah bagian besar dari orang-orang kami selama tahun pertama
kuliah mereka.
(Kementrian
Pendidikan, 1958, halaman 2)
Sehingga
para ahli lama menahan sampai masa modern, ditunjukkan dengan budaya dan
pendidikan kelas menengah dan pendidikan tardisional kaum elit. Kelompok ini
menilai ‘pendidikan budaya’ dalam pengertiannya, untuk sumbangannya kepada
orang berbudaya atau berpendidikan; dan menolak atau menganggap remeh
pengetahuan teknis atau praktis (Williams, 1961). Menurut Hirst dan Peters,
kelompok ini mencapai kejayaan di abad lalu.
Maksud ‘terpelajar’
sebagai penggambaran seluruh perkembangan moral seseorang, secara intelektual
dan spiritual hanya ada di abad ke-19… meskipun sebelum abad ke-19 telah
terdapat pikiran tentang seseorang yang terlatih… istilah ‘orang terpelajar’
bukanlah sesuatu yang biasa untuk menggambarkan perhatian untuk pikiran ini.
Sekarang ini… konsep seorang terpelajar sebagai sebuah idaman sudah cukup
berkembang… [Tapi] bagi kami pendidikan tidak lebih cocok dengan apapun yang
sedikit mengandung akhir.
(Hirst dan Peters,
1970, halaman 24)
Seorang guru
mungkin mengajar sebuah pelajaran seperti IPA dengan jurusan murni atau dalam
pandangan akhir yang ekonomis… melengkapi orang-orang untuk penjurusan atau
melayani sebuah kebutuhan nasional dengan tenaga manusia terlatih, tanpa banyak
berpikir tentang perkembangan individu yang terkait, sebagai individu… Tapi
mengajar orang dengan pandangan akhir yang terbatas harus dibedakan dari
mendidik orang.
(Hirst dan Peters,
1970, halaman 28)
Unsur
pusat dari ideologi ini adalah bahwa pendidikan dan pengetahuan adalah baik,
sebuah akhir dalam diri mereka, dan bukan sebuah arti untuk penyewa, akhir yang
bermanfaat. Sehingga, menurut Cardinal Newman, seorang ahli lama terkemuka di
abad lalu:
Meskipun yang
bermanfaat tak selalu baik, yang baik selalu bermanfaat… Pengetahuan mampu
menjadi akhir dari dirinya sendiri. Seperti halnya dasar pikiran manusia yang
berupa berbagai macam pengetahuan, jika hal ini benar demikian, hal ini
merupakan hadiah… Pengetahuan tidak hanya bermanfaat dan kebetulan belaka, yang
merupakan milik kita hari ini maupun besok… yang dapat kita bawa ketika ada
kesempatan, kita genggam dalam tangan lalu membawanya ke pasar; ini adalah
sebuah cahaya yang kita peroleh, ini adalah sebuah kebiasaan, sebuah barang
pribadi kita, dan anugrah kita.
(Brent, 1978,
halaman 61)
Young
mengidentifikasi para ahli lama sebagai bagian dari ideologi
‘budaya/konservatif’, yang mula-mula turun dari ‘kaum ningrat’ yang
mengelompokkan pendidikan politik yang merupakan ‘non-kejuruan – orang
‘terpelajar’, sebuah penekanan karakter’ (Young, 1971a, halaman 29).
Analisis
serupa dibuat orang lain. Raynor (1972) menggambarkan Ideologi aristokratis
pendidikan, yang melihat pendidikan sebagai harta untuk menyiapkan kaum muda
untuk peran sosialnya sebagai orang kaya atau pemimpin. Cosin (1972)
menggambarkan perspektif kaum elit/konservatif yang diperhatikan untuk mengurus
standar keunggulan budaya melalui metode penyeleksian.
Arus
utama para ahli lama melihat budaya dan pembentukan karakter dalam pendidikan
adalah tradisi sekolah umum di Inggris. Hal ini telah mempertahankan subjek
tradisional dan pandangan kaum elit tentang pengetahuan sebagai kemurnian dan
tak berhubungan dengan kebutuhan mendesak dalam hidup, sebaik selalu mengantar
anak-anak menuju aristokrasi dan kaum ningrat (Meighan, 1986).
Sekolah umum
[menyediakan] jalan masuk menuju ‘kelas kepemimpinan’… Dalam banyak pendapat,
sekolah umum telah sukses… Namun subjek yang mereka ajar terlalu sering
mengurung ke dalam hal klasik untuk menemui semua keperluan usia baru, meskipun
mereka membentuk dasar untuk sebuah perkembangan tinggi dari budaya di Oxford
dan Cambridge, pada kebanyakan Inggris Tennyson. Dalam dunia kecil kehidupan
‘sekolah umum’… karakter memperoleh lebih dari sekedar keaslian.
(Trevelyan, 1944,
halaman 520)
Ada
banyak pendukung modern sudut pandang para ahli lama, yang menekankan nilai
kedisiplinan tradisional dan budaya jauh di atas ilmu teknik maupun praktek.
Pengertian budaya
harus mendahului keterampilan teknis; pada cara ini kejadian yang kebetulan
terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan ditemukan oleh pikiran yang telah
mempersiapkan pertemuan seperti kebetulan dengan mengacu pada hukum filosofi
dan pengertian kontekstual.
(Bantock, 1975,
halaman 15)
Tujuan perkuliahan
adalah sebuah kepercayaan pada kebudayaan, peradaban, dan kecaman yang tak
memihak… fungsinya adalah untuk membudayakan, memperbaiki, dengan kesadaran
diri untuk ‘membuat’ kebudayaan… [Hal ini terancam oleh] tekanan untuk
melakukan –untuk menjawab kebutuhan social, kebutuhan teknologi, kebutuhan
industry, kebutuhan ekonomi.
(Cox dan Dyson,
1969, halaman 60)
Pengetahuan
manusia yang diwujudkan dalam kebudayaan tinggi terlihat berharga pada
hakekatnya, dan tentunya, untuk membenarkan system kasta.
Kasta memiliki
sebuah fungsi, yaitu mempertahankan bagian keseluruhan budaya masyarakat yang
tergolong pada kasta tersebut… pada masyarakat sehat pertahanan tingkat
kebudayaan tertentu ini bermanfaat, bukan sekedar kasta yang mempertahankannya,
namun juga keseluruhan masyarakat.
(Eliot, 1948,
halaman 35)
Beberapa
pernyataan meniru gaya ‘dosen-dosen’ universitas Oxford dan Cambridge, yang
menolak bahan praktek dengan memihak alasan murni dan kebudayaan. Mereka
membuat kecanggihan manusia (sebagai lawan dari kecanggihan teknologi) dari dua
budaya yang dibedakan oleh C. P. Snow (Mills, 1970).
Para
ahli lama juga patut pada pandangan ‘klasik’ kurikulum, dengan penekanannya
pada struktur dan penalaran, dan di atas semua keungulan dan kebudayaan.
Gagasan keunggulan,
menurut sejarah, cenderung menuju pada ‘ajaran’ Yunani. Hal ini menegaskan
kualitas dan reputasi serta standarnya yang konsisten dan objektif. Dalam
tradisi klasik hal ini akhirnya menunjukkan sebuah penekanan pada budaya
tinggi… [Dalam] tradisi klasik, kebudayaan tergantung pada peralatan berkonsep
hebat, dugaan yang stabil, dan sebuah komunitas terpandang.
(Jenkins, 1975,
halaman 18-19)
Para ahli lama
‘menolak bahwa kesehatan spiritual manusia bergantung pada sejenis pendidikan
yang lebih dari sekedar pelatihan untuk pekerjaan khusus, semacam penggambaran
dengan berbagai cara sebagai “kebebasan”, “penyayang”, atau “kebudayaan”.’
(Williams, 1961,
halaman 162)
William menggambarkan perlawanan
disebabkan oleh para ahli lama yang melawan pengajaran subjek ilmu pengetahuan,
teknologi, maupun praktek. Hal ini tidak termasuk matematika murni yang dipertimbangkan
untuk mengembangkan kapasitas pemikiran murni, dasar penalaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar