Pandangan hirakis mengenai kemampuan matematika
merupakan bukti dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum nasional. The
Task Group on Assessment and Testing dibentuk untuk mengembangkan tes bagi
“semua usia dan kemampuan” (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1987a,
hal 26) dan istilah referensi yang termasuk adalah pemberian nasehat dalam
penilaian untuk meningkatkan belajar melampaui kemampuan’ (Departemen
pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Sekretaris negara untuk pendidikan (K
Baker) menulis pada ketua (P Black) mengenai kemampuan dan pembedaan sebagai
berikut.
Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk
matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan
pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal
diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari
pembentukan target yang secara kualitatif berbeda-dalam kaitannya dengan
wilayah pengetahuan, keterampilan atau pemahaman-bagi anak dari kemampuan yang
berbeda.
(Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan,
1988b, Appendix B)
Laporan akhir dari kelompok kerja matematika
(Departemen pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1988) juga mengunakan bahasa stereotip
kemampuan. Surat pengantar untuk sekretaris negara berisi bahwa proposal yang
tertera adalah “sesuai untuk anak-anak dalam segala usia dan kemampuan,
termasuk anak dengan kebutuhan pendidikan khusus (hal vi). Contoh selanjutnya
diambil secara acak dari laporan yang meliputi: guru dari murid yang sangat
pandai…akan perlu …merujuk pada program B guna memperluas kerja dari siswanya
yang paling mampu’ (hal 63). Akan ada waktu dimana anak yang paling pandaipun
memerlukan usaha’ (hal 68)’beberapa anak yang paling tidak mampu 10 persennya
mengalami kesulitan, misalnya level 1 pada usia 7 dan level 2 pada usia 11’
(hal 83)
Kutipan
ini dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pejabat (pemerintah) dan yang
muncul dalam publikasi kelompok kerja matematika adalah hirarki kemampuan
matematika, dimana individu bisa diberi posisi yang tetap atau relatif stabil.
Selanjutnya,
kurikulum nasional dalam matematika menghasilkan batasan pengalaman kurikulum
bagi siswa dengan pencapaian rendah dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan
oleh kerangka kurikulum dan penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1).
hasil yang diterima adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua
siswa, mereka dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki
level yang lebih sederhana.
Hasil
dari asumsi ini dalam kurikulum nasional dalam bidang matematika kemungkinan
akan memperburuk dan melebihi-lebihkan perbedaan individu dalam kinerja.
Seperti yang sudah kita lihat, hal ini hampir pasti menjadi pemenuhan diri,
penolakan sukses dalam matematika untuk sejumlah besar siswa sekolah.
Tentu saja stereotip
kemampuan dalam matematika tidak hanya didasarkan pada perbedaan pencapaian
yang diamati. Ada bukti yang tidak bisa disangkal bahwa faktor kelas (baik itu
etnik dan gender) memainkan peran yang sangat besar dalam pemberian label ini
(Meighan, 1986). Stereotip kemampuan yang dibangun dalam kurikulum nasional
bidang matematika mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan dalam posisi
“hirarki kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama
tahun sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit gelap
kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah dalam hiraki,
sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti-egalitarian lain dari
kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan sosial” yang pasti dan
hirarkis dari pencapaian siswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar