Pages

Pandangan Hirarkis dari Kemampuan dalam Kurikulum Nasional

Jumat, 23 Desember 2016


Pandangan hirakis mengenai kemampuan matematika merupakan bukti dalam publikasi yang berkaitan dengan kurikulum nasional. The Task Group on Assessment and Testing dibentuk untuk mengembangkan tes bagi “semua usia dan kemampuan” (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1987a, hal 26) dan istilah referensi yang termasuk adalah pemberian nasehat dalam penilaian untuk meningkatkan belajar melampaui kemampuan’ (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Sekretaris negara untuk pendidikan (K Baker) menulis pada ketua (P Black) mengenai kemampuan dan pembedaan sebagai berikut.
          Saya meminta siswa untuk bekerja berkelompok (termasuk matematika) untuk merekomendasikan target pengetahuan, keterampilan dan pemahaman dimana siswa dari tingkat kemampuan yang berbeda harus secara normal diperkirakan mencapai poin usia empat; namun sejauh mungkin menghindari pembentukan target yang secara kualitatif berbeda-dalam kaitannya dengan wilayah pengetahuan, keterampilan atau pemahaman-bagi anak dari kemampuan yang berbeda.
 (Departemen pendidikan dan Ilmu pengetahuan, 1988b, Appendix B)
Laporan akhir dari kelompok kerja matematika (Departemen pendidikan dan ilmu pengetahuan, 1988) juga mengunakan bahasa stereotip kemampuan. Surat pengantar untuk sekretaris negara berisi bahwa proposal yang tertera adalah “sesuai untuk anak-anak dalam segala usia dan kemampuan, termasuk anak dengan kebutuhan pendidikan khusus (hal vi). Contoh selanjutnya diambil secara acak dari laporan yang meliputi: guru dari murid yang sangat pandai…akan perlu …merujuk pada program B guna memperluas kerja dari siswanya yang paling mampu’ (hal 63). Akan ada waktu dimana anak yang paling pandaipun memerlukan usaha’ (hal 68)’beberapa anak yang paling tidak mampu 10 persennya mengalami kesulitan, misalnya level 1 pada usia 7 dan level 2 pada usia 11’ (hal 83)
          Kutipan ini dengan tegas menyatakan bahwa pandangan pejabat (pemerintah) dan yang muncul dalam publikasi kelompok kerja matematika adalah hirarki kemampuan matematika, dimana individu bisa diberi posisi yang tetap atau relatif stabil.
          Selanjutnya, kurikulum nasional dalam matematika menghasilkan batasan pengalaman kurikulum bagi siswa dengan pencapaian rendah dalam matematika. Seperti yang ditunjukkan oleh kerangka kurikulum dan penilaian untuk kurikulum nasional (Gambar 11.1). hasil yang diterima adalah kurikulum tunggal dalam matematika untuk semua siswa, mereka dengan “kemampuan rendah” hingga yang lebih rendah, memiliki level yang lebih sederhana.
Hasil dari asumsi ini dalam kurikulum nasional dalam bidang matematika kemungkinan akan memperburuk dan melebihi-lebihkan perbedaan individu dalam kinerja. Seperti yang sudah kita lihat, hal ini hampir pasti menjadi pemenuhan diri, penolakan sukses dalam matematika untuk sejumlah besar siswa sekolah.
Tentu saja stereotip kemampuan dalam matematika tidak hanya didasarkan pada perbedaan pencapaian yang diamati. Ada bukti yang tidak bisa disangkal bahwa faktor kelas (baik itu etnik dan gender) memainkan peran yang sangat besar dalam pemberian label ini (Meighan, 1986). Stereotip kemampuan yang dibangun dalam kurikulum nasional bidang matematika mengasumsikan bahwa setiap anak bisa ditempatkan dalam posisi “hirarki kemampuan matematika, dan beberapa akan menggantikan posisi selama tahun sekolah. Akibatnya, kelas pekerja, anak perempuan dan anak berkulit gelap kemungkinan besar akan ditempatkan dalam kelas yang lebih rendah dalam hiraki, sesuai dengan harapan stereotip. Ini adalah segi anti-egalitarian lain dari kurikulum nasional, yang akan menentukan “tingkatan sosial” yang pasti dan hirarkis dari pencapaian siswa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS