Pandangan
hirarkis belajar matematika berada dalam dua asumsi. Pertama, selama belajar,
konsep dan keterampilan diperlukan. Sehingga menurut beberapa pengalaman
belajar sebelumnya seorang pelajar akan kekurangan konsep dan keterampilan, dan
setelah pengalaman belajar yang tepat dan berhasil, pelajar akan memiliki atau
mendapat konsep dan keterampilan. Kedua, kemahiran konsep dan keterampilan
matematika tergantung pada kepemilikan konsep dan keterampilan sebelumnya.
Hubungan ketergantungan ini berada diantara konsep dan keterampilan yang
memberikan struktur pada hirarki belajar. Sehingga untuk mempelajari konsep
level n+1, pelajar harus sudah
mendapat konsep yang tepat dari level n
(namun tidak perlu semua level). Akibatnya, berdasarkan pandangan ini,
pengetahuan matematika diatur secara unik dalam jumlah level diskret. Tiap dari
dua asumsi ini sifatnya problematik dan terbuka pada kritik.
Hubungan ketergantungan hirarkis antar
konsep
Satu asumsi
bahwa ada hubungan hirarkis yang pasti dari ketergantungan antara konsep dan
keterampilan, yang menghasilkan hirarki yang unik dari konsep dan keterampilan,
dua kritik utama bisa dinaikkan melawan asumsi ini. Pertama, hal ini
mengisyaratkan bahwa konsep atau keterampilan merupakan entitas yang dimiliki
atau tidak dimiliki oleh pelajar, ini merupakan asumsi kedua, dikritik berikut
ini. Namun tanpa asumsi ini tidak bisa diklaim bahwa konsep level n+1, tergantung pada kepemilikan konsep
level n. Karena untuk membuat klaim
ini bisa mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep atau level
n atau n +1.
Kritik yang lebih substantif adalah
bahwa keunikan hirarki belajar tidak ditetapkan secara teoritis atau empirik.
Resnick dan Ford (1984) menyimpulkan peninjauan penelitian mereka pada hirarki
belajar dengan peringatan bahwa mereka harus digunakan dengan perhatian, dan
komentar Gagne tahun 1968 yang tetap valid: hirarki belajar…tidak bisa mewakili
rute unik atau yang paling efisien untuk tiap pelajar. (Hal 57).
Sejumlah penelitian yang membandingkan
efek instruksi yang mengikuti urutan konsep yang berbeda dari hirarki yang
diajukan (Philips dan Kane, 1973) atau pengetahuan pelajar yang sesuai pada
hirarki belajar dalam cara yang halus (Denvir dan Brown, 1986) mengkonfirmasi
bahwa tidak ada hirarki yang paling baik menggambarkan urutan atau struktur
kemahiran pengetahuan setiap pelajar. Meskipun banyak penulis melaporkan
efektivitas dari hirarki belajar untuk urutan instruksi (Bell, 1983; Horon dan Lynn,
1980), faktanya adalah strategi alternatif yang sama efektif seperti “advance
organizer, ‘pertanyaan tambahan’ dan ‘deep and principle’ merintangi asumsi
hirarki mereka (Begle, 1979; Bell, 1983; Dessart, 1981). Sehingga pengajaran
ini tidak memberitahu kita bagaimana pengetahuan pelajar terbentuk.
Pandangan kognitif ilmuan dan psikolog
yang banyak digunakan adalah organisasi (dan sifat) pengetahuan pelajar adalah
idiosinkratik, sehingga ini tidak bisa digolongkan pada hirarki tetap tunggal.
Sehingga konsep pelajar atau struktur konseptual telah diistilahkan ‘konsepsi
alternatif’ atau ‘kerangka alternatif’ (Easley, 1984; Gilbert dan Watts, 1983;
Pfundt dan Duit, 1988) Ketika perbedaan ini berada dalam skala mikro, maka
pikiran bahwa pemahaman pelajar melampaui topik matematika bisa dipenuhi dalam
semua hirarki matematika juga ditolak (Ruthven, 1986, 1987; Noss, 1989)
Konsep sebagai entitas yang diperlukan
Asumsi yang
tersisa terkait sifat konsep dan keterampilan matematika, namun perlakuan
konsep sendiri cukup untuk menciptakan argumen. Istilah konsep memiliki dua
makna psikologis. Pengertian sempitnya adalah atribut atau rangkaian objek. Hal
ini bisa didefinisikan secara intensif, dengan mendefinisikan sifat atau secara
ekstensif, dalam kaitannya dengan keanggotaan rangkaian. Konsep dalam
pengertian ini memungkinkan adanya diskriminasi antara objek tersebut yang
berada di bawahnya, dan yang tidak. Konsep dalam pengertian ini sederhana, dan
merupakan objek mental yang bersatu. Pengertian yang lebih luas dari konsep
adalah struktur konseptual, terdiri dari sejumlah konsep (dalam pengertian
sempit) bersama dengan hubungan antara mereka (Bell, 1983). Struktur konseptual
juga disebut skema atau konsep dengan interioritas (Skemp, 1979). Hampir semua
hal tersebut merujuk pada konsep dalam psikologi matematis, seperti konsep
nilai tempat, atau bahkan konsep sepuluh, memiliki pengertian yang lebih luas
dari struktur konseptual, karena komponen cabang bisa dibedakan dalam tiap
konsep.
Dengan adanya perbedaan ini, tiga
keberatan utama bisa muncul melawan asumsi dimana konsep semuanya diperoleh
seketika, atau dimiliki atau kurang bagi pelajar. Pertama, sebagian besar
konsep faktanya menggabungkan struktur konseptual, merupakan bukti bahwa
konstruksi mereka harus merupakan proses pertumbuhan yang luas. Dalam pandangan
interkoneksi yang kompleks antara konsep, kemahiran konsep bisa bertahan lama.
Kedua, kepemilikan konsep pelajar
hanya bisa diwujudkan secara langsung, melalui penggunaannya, karena struktur
mental merupakan entitas teoritis yang tidak bisa secara langsung diamati.
Namun penggunaan konsep oleh pelajar harus berada dalam beberapa konteks,
sehingga konsep dihubungkan dengan konteks penggunaan. Untuk meringkas ‘esensi’
konsep dari konteks penggunaan, dan klaim bahwa esensi ini menunjukkan konsep
bersifat presumptive. Pemikiran akhir-akhir ini dalam poin psikologi pada sifat
pengertian kontekstual (Brown, 1989; Lave, 1988; Solomon, 1989; Walkerdine,
1988). Ada badan penelitian substansial yang menunjukkan penggunaan konsep atau
keterampilan matematika oleh pelajar dalam konteks berbeda yang sangat
bermacam-macam (Carraher, 1988; Evans, 1988a). Sehingga pemahaman konsep
pelajar berkembang sesuai tingkat konteks penggunaan yang dikuasai, menggali
gagasan dimana kemahiran merupakan proses.
Ketiga, gagasan bahwa konsep secara
unik merupakan entitas objektif yang bisa dispesifikasi sifatnya terbuka bagi
kritik filosofis dan psikologis, seperti ditunjukkan dalam Bab 4 dan 5. Hal ini
diterima secara luas bahwa individu membentuk makna personal. (Novak, 1987).
Untuk mengklaim bahwa individu berbeda memiliki konsep yang sama, tidak
dikatakan bahwa beberapa entitas objektif yang sama, walaupun abstrak, dimiliki
oleh keduanya. Hal ini menunjukkan entitas teoritis hipotetis yang murni. Klaim
semacam ni hanya merupakan facon de
parler, berarti bahwa dua kinerja individu bisa dibandingkan. Karena
mendapat konsep merupakan proses mempengaruhi konstruksi personal
idiosinkratik, hal ini tidak lagi valid untuk mengklaim bahwa pelajar memiliki
atau tidak memiliki konsep tertentu.
Secara keseluruhan, kita melihat bahwa
klaim bahwa belajar matematika mengikuti hirarki belajar yang unik tidak bisa
dipertahankan. Konstruksi konsep individual dan hubungannya adalah personal dan
idiosinkratik, bahkan jika hasil membagi kompetensi. Vergnaud menuliskan:
Hirarki kompetensi matematika tidak mengikuti urutan total organisasi,
seperti teori dugaan ketidakberuntungan tahap-tahap, namun lebih satu berurutan
parsial: situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan
representasi simbolik yang mereka gunakan, dari usia 2 hingga 3 hingga dewasa
dan pelatihan profesional, lebih baik dijelaskan oleh skema urutan parsial
dimana seseorang menemukan kompetensi yang tidak mengandalkan satu sama lain,
meskipun mereka semua memerlukan serangkaian kompetensi yang lebih
primitif dan mungkin semua dibutuhkan
untuk rangkaian yang lebih kompleks.
Vergnaud
(1983, hal 4)
Konsekuensi untuk Kurikulum Nasional dalam
Matematika
Pembahasan ini
memiliki konsekuensi untuk kerangka kurikulum hirarkis, dan juga untuk
Kurikulum Nasional dalam matematika (Departemen Pendidikan dan Ilmu
pengetahuan). Paling penting, tidak ada justifikasi psikologis untuk memaksakan
struktur hirarkis yang unik dan pasti pada kurikulum matematika bagi semua anak
dari usia 5 hingga 16. Hasil empirik yang dilaporkan di atas sebagian besar
fokus pada porsi kecil dari kurikulum matematika dan usia yang dibatasi serta
tingkat pencapaian. Bahkan dalam batasan ini, dugaan bahwa hirarki tunggal
secara akurat menunjukkan matematika secara psikologis yang harus ditolak. Di
luar itu, kita telah melihat bahwa ada alasan teoritis kuat mengapa hirarki
tetap tidak bisa menjelaskan belajar siswa. Dipasangkan dengan penolakan
epistimologis sebelumnya, hasil merupakan hukuman (kondemnasi) dari kerangka
dalam prinsip tanpa penelitian detail dari isinya.
Hal ini juga penting memperhatikan
bahwa sebenarnya semua argumen yang digunakan dalam kritik ini bisa diubah pada
area kurikulum lainnya, karena referensi detail pada isi kurikulum nasional
belum dibuat.
Ketika
detail isi dari kurikulum nasional dalam bidang Matematika dibawa dalam
diskusi, maka mungkin akan ada pembenaran yang bisa diantisipasi. Yaitu,
meskipun kurikulum tidak memiliki keharusan epistimologis atau psikologis,
namun mungkin mencerminkan pengetahuan yang ada mengenai prestasi anak secara
keseluruhan dalam bidang matematika.
Ada
sejumlah pengetahuan substansial yang bisa diperoleh dari prestasi berskala
besar yang diuji di Inggris dan negara-negara lain, seperti dalam Assessment of
Performance Unit (1985), Hart (1981), Keys dan Foxman (1989), Carpenter (1981),
Lindquist (1989) dan Lapointe (1989), Robitaille dan Garden (1989) serta
Travers dan Westbury (1989). Informasi semacam ini tak bisa diacuhakan sebagai
produk budaya, yang mencerminkan hasil kurikula matematika yang dimediasi oleh
struktur institusional sekolah dan sistem penilaian. Meskipun demikian hal ini
memberikan garis dasar, sekalipun pragmatis terhadap kurikulum matematika
hirarkis yang bisa divalidasi. Informasi tidak perlu benar-benar memaksa
kurikulum yang baru, karena mungkin ada alasan yang masuk akal kenapa mengubah
aspek dari praktek terdahulu. Namun dengan hal yang memberatkan ini,
perkembangan kurikulum berskala besar harus paling tidak mengandung pemeriksaan
area kesepakatan dan ketidak-sepakatan dengan penelitian empirik, serta
membenarkan dan mengantisipasi deviasi yang besar.
Kurikulum
nasional dalam bidang matematika telah mengabaikan isu semacam ini, dan tidak
mencerminkan pengetahuan yang ada. Keohane dan Hart (1989) dan Hart (1989)
menunjukkan bahwa level tunggal dari kurikulum yang terencana termasuk isi
dimana ada banyak fasilitas yang berbeda-beda. Level empat termasuk dalam
program studi untuk anak berusia 8-16 tahun. Dalam studi terhadap sampel yang
besar dari anak berusia 11 tahu (Hart, 1981), ada tingkat fasilitas yang
tersebar dari 2 persen hingga 95 persen dalam item yang sesuai dengan level
pernyataan pencapaian empat.
Tidak
hanya kurikulum nasional bidang matematika saja yang kurang seimbang, namun
juga hasil penelitian empirik. The Mathematics Working Group yang pimpin oleh
ketua D Graham, tidak memperhatikan masalah ini.
Kelompok tidak diharapkan untuk mengadakan penelitian
berdasarkan rekomendasi dengan mabuk air, namun diharapkan untuk menunjukan praktek
yang baik dalam cara yang pragmatis.
(Nash, 1988, hal 1)
Hal ini menggambarkan fakta bahwa tidak ada usaha
yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum nasional dalam basis penelitian,
semuanya dibiarkan berjalan secara empirik. Bahkan hal ini dilakukan secara
bersama oleh sebuah komite, yang bekerja sebagai tiga sub komite, dalam beberapa
minggu. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kurangnya validitas
epistimologis atau psikologis, dalam asumsi hirakisnya. Dengan status yang ada,
dan sumber daya yang tersedia, akan semakin lalai terhadap originator
(pemerintah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar