Pages

Kritik Pandangan Hirarkis Belajar Matematika

Jumat, 23 Desember 2016


Pandangan hirarkis belajar matematika berada dalam dua asumsi. Pertama, selama belajar, konsep dan keterampilan diperlukan. Sehingga menurut beberapa pengalaman belajar sebelumnya seorang pelajar akan kekurangan konsep dan keterampilan, dan setelah pengalaman belajar yang tepat dan berhasil, pelajar akan memiliki atau mendapat konsep dan keterampilan. Kedua, kemahiran konsep dan keterampilan matematika tergantung pada kepemilikan konsep dan keterampilan sebelumnya. Hubungan ketergantungan ini berada diantara konsep dan keterampilan yang memberikan struktur pada hirarki belajar. Sehingga untuk mempelajari konsep level n+1, pelajar harus sudah mendapat konsep yang tepat dari level n (namun tidak perlu semua level). Akibatnya, berdasarkan pandangan ini, pengetahuan matematika diatur secara unik dalam jumlah level diskret. Tiap dari dua asumsi ini sifatnya problematik dan terbuka pada kritik.
Hubungan ketergantungan hirarkis antar konsep
Satu asumsi bahwa ada hubungan hirarkis yang pasti dari ketergantungan antara konsep dan keterampilan, yang menghasilkan hirarki yang unik dari konsep dan keterampilan, dua kritik utama bisa dinaikkan melawan asumsi ini. Pertama, hal ini mengisyaratkan bahwa konsep atau keterampilan merupakan entitas yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh pelajar, ini merupakan asumsi kedua, dikritik berikut ini. Namun tanpa asumsi ini tidak bisa diklaim bahwa konsep level n+1, tergantung pada kepemilikan konsep level n. Karena untuk membuat klaim ini bisa mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep atau level n atau n +1.
          Kritik yang lebih substantif adalah bahwa keunikan hirarki belajar tidak ditetapkan secara teoritis atau empirik. Resnick dan Ford (1984) menyimpulkan peninjauan penelitian mereka pada hirarki belajar dengan peringatan bahwa mereka harus digunakan dengan perhatian, dan komentar Gagne tahun 1968 yang tetap valid: hirarki belajar…tidak bisa mewakili rute unik atau yang paling efisien untuk tiap pelajar. (Hal 57).
          Sejumlah penelitian yang membandingkan efek instruksi yang mengikuti urutan konsep yang berbeda dari hirarki yang diajukan (Philips dan Kane, 1973) atau pengetahuan pelajar yang sesuai pada hirarki belajar dalam cara yang halus (Denvir dan Brown, 1986) mengkonfirmasi bahwa tidak ada hirarki yang paling baik menggambarkan urutan atau struktur kemahiran pengetahuan setiap pelajar. Meskipun banyak penulis melaporkan efektivitas dari hirarki belajar untuk urutan instruksi (Bell, 1983; Horon dan Lynn, 1980), faktanya adalah strategi alternatif yang sama efektif seperti “advance organizer, ‘pertanyaan tambahan’ dan ‘deep and principle’ merintangi asumsi hirarki mereka (Begle, 1979; Bell, 1983; Dessart, 1981). Sehingga pengajaran ini tidak memberitahu kita bagaimana pengetahuan pelajar terbentuk.
          Pandangan kognitif ilmuan dan psikolog yang banyak digunakan adalah organisasi (dan sifat) pengetahuan pelajar adalah idiosinkratik, sehingga ini tidak bisa digolongkan pada hirarki tetap tunggal. Sehingga konsep pelajar atau struktur konseptual telah diistilahkan ‘konsepsi alternatif’ atau ‘kerangka alternatif’ (Easley, 1984; Gilbert dan Watts, 1983; Pfundt dan Duit, 1988) Ketika perbedaan ini berada dalam skala mikro, maka pikiran bahwa pemahaman pelajar melampaui topik matematika bisa dipenuhi dalam semua hirarki matematika juga ditolak (Ruthven, 1986, 1987; Noss, 1989)
Konsep sebagai entitas yang diperlukan
Asumsi yang tersisa terkait sifat konsep dan keterampilan matematika, namun perlakuan konsep sendiri cukup untuk menciptakan argumen. Istilah konsep memiliki dua makna psikologis. Pengertian sempitnya adalah atribut atau rangkaian objek. Hal ini bisa didefinisikan secara intensif, dengan mendefinisikan sifat atau secara ekstensif, dalam kaitannya dengan keanggotaan rangkaian. Konsep dalam pengertian ini memungkinkan adanya diskriminasi antara objek tersebut yang berada di bawahnya, dan yang tidak. Konsep dalam pengertian ini sederhana, dan merupakan objek mental yang bersatu. Pengertian yang lebih luas dari konsep adalah struktur konseptual, terdiri dari sejumlah konsep (dalam pengertian sempit) bersama dengan hubungan antara mereka (Bell, 1983). Struktur konseptual juga disebut skema atau konsep dengan interioritas (Skemp, 1979). Hampir semua hal tersebut merujuk pada konsep dalam psikologi matematis, seperti konsep nilai tempat, atau bahkan konsep sepuluh, memiliki pengertian yang lebih luas dari struktur konseptual, karena komponen cabang bisa dibedakan dalam tiap konsep.
          Dengan adanya perbedaan ini, tiga keberatan utama bisa muncul melawan asumsi dimana konsep semuanya diperoleh seketika, atau dimiliki atau kurang bagi pelajar. Pertama, sebagian besar konsep faktanya menggabungkan struktur konseptual, merupakan bukti bahwa konstruksi mereka harus merupakan proses pertumbuhan yang luas. Dalam pandangan interkoneksi yang kompleks antara konsep, kemahiran konsep bisa bertahan lama.
          Kedua, kepemilikan konsep pelajar hanya bisa diwujudkan secara langsung, melalui penggunaannya, karena struktur mental merupakan entitas teoritis yang tidak bisa secara langsung diamati. Namun penggunaan konsep oleh pelajar harus berada dalam beberapa konteks, sehingga konsep dihubungkan dengan konteks penggunaan. Untuk meringkas ‘esensi’ konsep dari konteks penggunaan, dan klaim bahwa esensi ini menunjukkan konsep bersifat presumptive. Pemikiran akhir-akhir ini dalam poin psikologi pada sifat pengertian kontekstual (Brown, 1989; Lave, 1988; Solomon, 1989; Walkerdine, 1988). Ada badan penelitian substansial yang menunjukkan penggunaan konsep atau keterampilan matematika oleh pelajar dalam konteks berbeda yang sangat bermacam-macam (Carraher, 1988; Evans, 1988a). Sehingga pemahaman konsep pelajar berkembang sesuai tingkat konteks penggunaan yang dikuasai, menggali gagasan dimana kemahiran merupakan proses.
          Ketiga, gagasan bahwa konsep secara unik merupakan entitas objektif yang bisa dispesifikasi sifatnya terbuka bagi kritik filosofis dan psikologis, seperti ditunjukkan dalam Bab 4 dan 5. Hal ini diterima secara luas bahwa individu membentuk makna personal. (Novak, 1987). Untuk mengklaim bahwa individu berbeda memiliki konsep yang sama, tidak dikatakan bahwa beberapa entitas objektif yang sama, walaupun abstrak, dimiliki oleh keduanya. Hal ini menunjukkan entitas teoritis hipotetis yang murni. Klaim semacam ni hanya merupakan facon de parler, berarti bahwa dua kinerja individu bisa dibandingkan. Karena mendapat konsep merupakan proses mempengaruhi konstruksi personal idiosinkratik, hal ini tidak lagi valid untuk mengklaim bahwa pelajar memiliki atau tidak memiliki konsep tertentu.
          Secara keseluruhan, kita melihat bahwa klaim bahwa belajar matematika mengikuti hirarki belajar yang unik tidak bisa dipertahankan. Konstruksi konsep individual dan hubungannya adalah personal dan idiosinkratik, bahkan jika hasil membagi kompetensi. Vergnaud menuliskan:
Hirarki kompetensi matematika tidak mengikuti urutan total organisasi, seperti teori dugaan ketidakberuntungan tahap-tahap, namun lebih satu berurutan parsial: situasi dan masalah yang dikuasai siswa secara progresif, prosedur dan representasi simbolik yang mereka gunakan, dari usia 2 hingga 3 hingga dewasa dan pelatihan profesional, lebih baik dijelaskan oleh skema urutan parsial dimana seseorang menemukan kompetensi yang tidak mengandalkan satu sama lain, meskipun mereka semua memerlukan serangkaian kompetensi yang lebih primitif  dan mungkin semua dibutuhkan untuk rangkaian yang lebih kompleks.
Vergnaud (1983, hal 4)
Konsekuensi untuk Kurikulum Nasional dalam Matematika
Pembahasan ini memiliki konsekuensi untuk kerangka kurikulum hirarkis, dan juga untuk Kurikulum Nasional dalam matematika (Departemen Pendidikan dan Ilmu pengetahuan). Paling penting, tidak ada justifikasi psikologis untuk memaksakan struktur hirarkis yang unik dan pasti pada kurikulum matematika bagi semua anak dari usia 5 hingga 16. Hasil empirik yang dilaporkan di atas sebagian besar fokus pada porsi kecil dari kurikulum matematika dan usia yang dibatasi serta tingkat pencapaian. Bahkan dalam batasan ini, dugaan bahwa hirarki tunggal secara akurat menunjukkan matematika secara psikologis yang harus ditolak. Di luar itu, kita telah melihat bahwa ada alasan teoritis kuat mengapa hirarki tetap tidak bisa menjelaskan belajar siswa. Dipasangkan dengan penolakan epistimologis sebelumnya, hasil merupakan hukuman (kondemnasi) dari kerangka dalam prinsip tanpa penelitian detail dari isinya.
          Hal ini juga penting memperhatikan bahwa sebenarnya semua argumen yang digunakan dalam kritik ini bisa diubah pada area kurikulum lainnya, karena referensi detail pada isi kurikulum nasional belum dibuat.
          Ketika detail isi dari kurikulum nasional dalam bidang Matematika dibawa dalam diskusi, maka mungkin akan ada pembenaran yang bisa diantisipasi. Yaitu, meskipun kurikulum tidak memiliki keharusan epistimologis atau psikologis, namun mungkin mencerminkan pengetahuan yang ada mengenai prestasi anak secara keseluruhan dalam bidang matematika.
          Ada sejumlah pengetahuan substansial yang bisa diperoleh dari prestasi berskala besar yang diuji di Inggris dan negara-negara lain, seperti dalam Assessment of Performance Unit (1985), Hart (1981), Keys dan Foxman (1989), Carpenter (1981), Lindquist (1989) dan Lapointe (1989), Robitaille dan Garden (1989) serta Travers dan Westbury (1989). Informasi semacam ini tak bisa diacuhakan sebagai produk budaya, yang mencerminkan hasil kurikula matematika yang dimediasi oleh struktur institusional sekolah dan sistem penilaian. Meskipun demikian hal ini memberikan garis dasar, sekalipun pragmatis terhadap kurikulum matematika hirarkis yang bisa divalidasi. Informasi tidak perlu benar-benar memaksa kurikulum yang baru, karena mungkin ada alasan yang masuk akal kenapa mengubah aspek dari praktek terdahulu. Namun dengan hal yang memberatkan ini, perkembangan kurikulum berskala besar harus paling tidak mengandung pemeriksaan area kesepakatan dan ketidak-sepakatan dengan penelitian empirik, serta membenarkan dan mengantisipasi deviasi yang besar.
          Kurikulum nasional dalam bidang matematika telah mengabaikan isu semacam ini, dan tidak mencerminkan pengetahuan yang ada. Keohane dan Hart (1989) dan Hart (1989) menunjukkan bahwa level tunggal dari kurikulum yang terencana termasuk isi dimana ada banyak fasilitas yang berbeda-beda. Level empat termasuk dalam program studi untuk anak berusia 8-16 tahun. Dalam studi terhadap sampel yang besar dari anak berusia 11 tahu (Hart, 1981), ada tingkat fasilitas yang tersebar dari 2 persen hingga 95 persen dalam item yang sesuai dengan level pernyataan pencapaian empat.
          Tidak hanya kurikulum nasional bidang matematika saja yang kurang seimbang, namun juga hasil penelitian empirik. The Mathematics Working Group yang pimpin oleh ketua D Graham, tidak memperhatikan masalah ini.
          Kelompok tidak diharapkan untuk mengadakan penelitian berdasarkan rekomendasi dengan mabuk air, namun diharapkan untuk menunjukan praktek yang baik dalam cara yang pragmatis.
 (Nash, 1988, hal 1)

Hal ini menggambarkan fakta bahwa tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengembangkan kurikulum nasional dalam basis penelitian, semuanya dibiarkan berjalan secara empirik. Bahkan hal ini dilakukan secara bersama oleh sebuah komite, yang bekerja sebagai tiga sub komite, dalam beberapa minggu. Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan kurangnya validitas epistimologis atau psikologis, dalam asumsi hirakisnya. Dengan status yang ada, dan sumber daya yang tersedia, akan semakin lalai terhadap originator (pemerintah). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS