Kekuatan dari
perspektif ini adalah penekanannya pada organisasi dan struktur matematika
sebagai kedisiplinan teoritis, dengan konsep penyatuan pusat. Berhubungan
dengan apresiasi keindahan dan estetika matematika. Focus terhadap nilai
intrinsik matematika berarti bahwa aspek penting ini tidaklah disia-siakan,
sebagaimana mereka dalam perspektif yang bermanfaat.
Sebuah tinjauan ideologi
Pokok
ideologi para ahli lama adalah membuka sejumlah kecaman. Pertama, terdapat
pandangan kemutlakan-murni matematika yang menyangkal hubungan antara
matematika murni dan penerapannya. Untuk melihat matematika sebagai kemurnian
yang nyata, dipisahkan dari bayangan dasar penerapannya adalah menuju bahaya,
mitos tak ternoda. Banyak perkembangan dalam matematika murni, seperti
konstribusi Newton dalam kalkulus, tidak dapat dipisahkan dari masalah dan
pendorong ilmiah. Sekarang ini perkembangan penghitungan sangat membentuk
perkembangan matematika murni (Steen, 1988). Keadaan matematika sebagai ratu
dan pelayan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan lagi, dari pada dapat
menggelombang dan mengunsur dalam teori kuantum. Kemurnian dan penerapan
matematika harus dihormati sebagai dua fakta yang sama.
Yang
kedua, akademis ‘menara gading’, dan perkumpulan kaum elit dari kedudukan ini
secara moral tak sehat. Hal ini menentang bahwa matematika memiliki banyak
keterlibatan di dalamnya, atau tanggung jawab yang lebih luas lagi, masalah
social. Bagaimanapun juga matematika adalah bagian dari ilmu pengetahuan,
seperti ahli matematika yang merupakan bagian masyarakat, dan tidak ada dasar
moral untuk menolak tanggung jawab bagian tersebut atau yang lebih besar lagi,
dalam kasus lain. Bersadarkan sebuah perspektif pada gagasan bahwa matematika
pada hakekatnya baik, dalam beberapa pengertian, maka untuk menolak tanggung
jawab jika hal ini mengakibatkan sesuatu yang buruk, melalui pengaruh negatif
pada kehidupan lain dalam masyarakat atau sekolah, adalah tidak bertanggung
jawab atau tidak benar secara moral. Tidak ada wilayah ilmu pengetahuan atau
kehidupan yang berhak dalam hak prerogatif pemerintah, dalam masyarakat
demokrasi semuanya memiliki tanggung jawab.
Ketiga, ada asumsi
yang tidak tepat dari pandangan tetap kemampuan manusia, berhubungan dengan
percontohan dan pandangan kaum elit tentang sifat dasar manusia dan masyarakat.
Apapun bagian warisan yang bermain dalam menentukan kemampuan matematika dan
manusia, hal ini secara luas telah diterima bahwa pengaruh lingkungan memiliki
sebuah pengaruh besar dalam realisasinya (Beck dkk., 1976).
Hasil pendidikan negatif
Kelemahan
ini memiliki akibat penguburan bagi pendidikan. Pertama, ada permasalahan yang
membendung dari pandangan ‘bawah puncak’ kurikulum matematika. Hal ini melihat
fungsi utama matematika level ‘A’ yang menyiapkan siswa untuk matematika
perguruan tinggi, dan seterusnya sepanjang tahun pendidikan yang diterima di
sekolah. Akibat yang tak masuk akal adalah pendidikan matematika untuk semua
orang melayani keperluan beberapa orang saja, sebagian kecil kurang dari 1
persen yang mempelajari matematika murni pada perguruan tinggi. Sebuah akibat
utama perbaikan pada tahun 1960-an adalah hal ini (Howson dan Wilson, 1986).
Rencana pembelajaran untuk seluruhnya tersusun sebagai versi ‘mempermudah’ dari
persiapan rencana pembelajaran status akademis yang lebih tinggi. Sehingga
kesempatan untuk mengembangkan rencana pembelajaran yang berdiri-bebas yang
lebih tepat tidak diambil. Sebagai akibatnya, banyak siswa mempelajari
kurikulum matematika tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka sebelumnya,
apapun yang mereka peroleh (Cockcroft, 1982).
Pandangan
‘bawah puncak’ kurikulum memperluas dari sekedar matematika, dan dapat dirubah
menjadi subjek akademis sekolah apapun. Hal ini dijelaskan oleh pandangan para
ahli lama bahwa pengetahuan murni di atas pengetahuan terapan dan kemampuan
praktek dalam pendidikan. Hasilnya adalah rencana pembelajaran yang tidak tepat
untuk kebanyakan siswa, rencana pembelajaran tidak dirancang dengan baik
berdasarkan keperluan mereka maupun ketertarikan dalam pikiran. Penjelasan
masuk akal satu-satunya untuk masalah ini adalah pendidikan melayani
ketertarikan para ahli lama, dengan mengorbankan ketertarikan masyarakat
seluruhnya. Untuk sebuah kurikulum murni, dengan nilai yang menyertainya,
menyediakan sebuah sumber tenaga baru kepada pengelompokan ahli lama. Hal ini
juga mendidik mereka yang gagal memasuki kelompok untuk mengakui nilainya dan
membantu mengamankan status dan tenaganya.
Kurikulum
matematika, khususnya, menyiapkan sebagian kecil siswa untuk menjadi ahli
matematika selagi mengajar sisanya agar mengagumi subjek itu. Membiarkan sebuah
kelompok mengubah tujuan pendidikan seperti ini, untuk melayani ketertarikan
pribadinya, adalah salah dan anti-pendidikan. Hasilnya membuat lebih banyak
orang menjadi tidak bermanfaat dari pada yang bermanfaat, berarti bahwa pada
manfaat akan berhenti sendiri, sistem tidak mendukung.
Akibat
kedua dari perspektif ini, adalah matematika ditampilkan pada pelajar sebagai
sesuatu yang objektif, tambahan, dingin, keras, dan terpencil (Ernest, 1986,
1988b). Hal ini memiliki sebuah efek negativ besar pada sikap dan tanggapan
afektif terhadap matematika (Buerk, 1982). Khususnya, gambaran matematika
terpisah ini dipertimbangkan untuk menjadi sebuah faktor pembuat sikap negativ
wanita terhadap matematika, dan ketidakpartisipasian mereka selanjutnya
(universitas terbuka, 1986). Matematika dipandang sebagai hal yang tidak
berhubungan dengan dunia, aktivitas manusia, dan budaya mengasingkan siswa,
tanpa tergantung dengan jenis kelamin. Penekanan pada struktur matematika dan
logika, dari perspektif ini, dapat melemahkan semangat. Polya mengutip
pernyataan Hadamard:
Objek kekakuan
matematika adalah menyetujui dan melegalkan penaklukan intuisi, dan tidak
pernah ada objek lain dalam hal ini.
(Howson, 1973,
halaman 78)
Penekakan
menjauh dari manusia, aspek proses matematika berpihak pada objektifitas dan
kekakuan menurunkan keterlibatan pribadi dalam pembelajaran matematika. Kebanyakan
laporan terbaru yang berwenang terhadap matematika telah menekan kepentingan
partisipasi aktiv pada pembelajarannya dalam konteks manusiawi, khususnya
penyelesaian masalah, penerapan dan kerja investigasi (Dewan Pengajar
Matematika Nasional, 1980, 1989; Cockcroft, 1982; Baginda Inspektorat, 1985).
Sebaliknya, sebuah penekakan luar biasa pada kekakuan, struktur, dan formalism
mendorong ke arah hal yang tidak dapat dimengerti dan kegagalan.
Ketiga, asumsi bahwa kemampuan matematika
ditetapkan oleh keturunan, merugikan mereka yang tidak dijuluki berbakat
matematika. Penjulukan tertentu untuk seseorang menurut tanggapan orang lain
sesuai dengan bakat mereka, dikenal sebagai pemenuhan-diri (Meighan, 1986).
Hasilnya adalah menurunkan tingkat pencapaian mereka yang dijuluki berkemampuan
rendah, merusak prestasi matematika (Ruthven,1987). Hal ini juga berdampak pada
masalah jenis kelamin dalam matematika, di mana meniru kemampuan matematika
sebagai sebuah sifat kejantanan yang dihormati sebagai sebuah factor penyebab
utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar