A. Aliran Absolutis
Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan
intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah memberikan contoh
kegagalan pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan ketaktepatan
aliran absolutis untuk filsafat matematika. Berdasarkan pada kriteria di atas, kami dapat memberikan
kritik lebih jauh terkait dengan ketidaksesuaian aliran ini sebagai filsafat matematika.
B. Aliran Absolutis Progresif
Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi objek
kritik bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam matematika.
Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan absolute formal
dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.
Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut padang aliran
absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran
daripada hasilnya. Filsafat absolut progresif:
1. Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori
aksiomatis (yang kebenarannya hampir dianggap mutlak).
2. mengakui bahwa keberadaan
matematika formal karena intuisi matematika diperlukan sebagai dasar dari
penciptaan teori
3. mengakui aktifitas manusia dan
akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.
Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya) sesuai dengan deskripsi
ini. Karena intusionisme
adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar) yang
kuat untuk pengetahuan matematika
melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan “ur-intuition” (Kalmar,
1967).
Intusionisme dan filsafat absolutis
progresif secara umum memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara
keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang,
meskipun terbatas, untuk para ahli matematika yang beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun dalam
bentuknya yang unik, memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui
bahwa aliran ini memenuhi sebagian kriteria.
C. Platonisme
Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi
objektif yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan ini berasal dari
Plato dan dapat dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis seperti Frege dan
Rusell, dan juga Cantor, Bernays (1934), Hardy (1967) dan Godel (1964).
Penganut aliran Platonis berpendapat bahwa objek dan struktur matematika
memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari kemanusiaan dan oleh karena itu
matematika adalah proses untuk menemukan hubungan yang ada dibaliknya. Menurut
penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri dari penjelasan
objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan mereka.
Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan
objektifitas matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi
objeknya sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan logika
sendiri. Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang
tampaknya tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli matematika seperti
Cantor dan Godel.
Disamping hal yang menarik
seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting. Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat
terkait dengan bagaimana ahli matematika memperoleh akses ke dalam pengetahuan
yang ada dalam wilayah platonic. Kedua, aliran ini
tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk matematika baik secara internal atau eksternal. Karena aliran ini
tidak dapat memenuhi persyaratan di atas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D. Konvensionalisme
Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan
matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi linguistik. Atau lebih jauh kebenaran logika dan
matematika memiliki sifat analitis, benar karena ada hubungan nilai dari makna
istilah yang digunakan. Bentuk
moderat dari konvensionalisme seperti Quine (1936) atau Hempel (1945)
menggunakan konvensi linguistik sebagai sumber kebenaran matematika dasar yang
menjadi landasan konstruksi bangunan matematika. Bentuk konvensionalisme ini
sedikit banyak sama dengan “ifthenisme” yang dijelaskan di Bab 1 sebagai posisi mempertahankan diri aliran
pondasionis yang sudah kalah. Pandangan ini tetap saja absolutis dan tetap
dapat dikenakan penolakan yang sama.
Filasafat matematika
konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan dua alasan. Pertama, dikatakan disini bahwa aliran
ini tidak banyak memberikan informasi. Terlepas dari penjelasan tentang sifat
social matematika, konvensionalisme hanya memberikan sedikit informasi. Kedua, penolakan dari Quine.
Penolakan Quine tidak memiliki alasan kuat karena penolakan itu tidak dapat
dikenakan pada bahasa asli dan dikenakan pada peran pembatas pada konvensi
umum. Sebaliknya dia benar dengan mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan
semua kebenaran matematika dan logika yang dikemukakan secara literal seperti
aturan dan konvensi linguistik. Meskipun Quine mengkritik konvensionalisme
terkait dengan logika, dia memandang aliran ini memiliki potensi menjadi
filsafat matematika yang sedikit berbeda.
E. Empirisme
Pandangan empiris tentang
pengetahuan matematika (“empirisme naïf” untuk membedakannya dengan “empirisme kuasi”nya Lakatos) menyebutkan
bahwa kebenaran matematika adalah generalisasi empirik. Kami membedakan dua
tesis empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul empirik dan (ii)
kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia
nyata. Tesis pertama tidak dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian
besar filsuf matematika (sehingga banyak konsep tidak terbentuk secara langsung
dari pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya konsep lain yang menyebabkan
terbentuknya konsep dari pengamatan melalui serangkaian definisi). Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak
kecuali penganut aliran empiris karena arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan.
Penolakan pertama beralasan bahwa sebagian besar ilmu matematika diterima
dengan dasar alasan teoritis dan bukan empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa
999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di dunia tetapi melalui
pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman kita berlawanan dengan kebenaran
matematika dasar, kita tidak akan menyangkalnya (Davis dan Hersh, 1980). Kita
justru akan berasumsi bahwa mungkin ada kesalahan dalam penalaran kita karena
ada kesepakatan bersama tentang matematika sehingga kita tidak dapat menolak
kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978). Oleh karena itu, “1 + 1 = 3” sangat
jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan ke kelinci lainnya
tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi “1 + 1” artinya
“pengganti dari 1” dan “2” adalah pengganti dari “1”. Kedua, matematika sangat abstrak dan begitu banyak
konsepnya tidak memiliki keaslian dalam pengamatan di dunia nyata. Justru
konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah terbentuk sebelumnya.
Kebenaran-kebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk bangunan
matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia
luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara
eksklusif pada masalah-masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan
tentang pengetahuan matematika. Dengan
dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik sebagai filsafat matematika
yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar