Pages

Pengujian Lebih Jauh Tentang Aliran-Aliran Filsafat

Sabtu, 10 Desember 2016

A.  Aliran Absolutis
            Dalam bab sebelumnya kami memandang pengikut aliran logis, formalis dan intusionis adalah pengikut aliran absolutis. Kami telah memberikan contoh kegagalan pemikiran aliran ini dan kami juga telah membuktikan ketaktepatan aliran absolutis untuk filsafat matematika. Berdasarkan pada kriteria di atas, kami dapat memberikan kritik lebih jauh terkait dengan ketidaksesuaian aliran ini sebagai filsafat matematika.
B.  Aliran Absolutis Progresif
            Meskipun berbagai macam absolutisme telah dikelompokan dan menjadi objek kritik bersama, ada bentuk-bentuk absolutisme yang berbeda dalam matematika. Menyamakannya dengan filsafat sains, Confrey (1981) memisahkan absolute formal dengan absolute progresif dalam filsafat matematika.
            Absolutis progresif yang lebih memandang (dari sudut padang aliran absolutis) matematika sebagai akibat dari upaya manusia untuk mencari kebenaran daripada hasilnya.  Filsafat absolut progresif:
1.   Menerima penciptaan dan perubahan teori-teori aksiomatis (yang kebenarannya hampir dianggap mutlak).
2.   mengakui bahwa keberadaan matematika formal karena intuisi matematika diperlukan sebagai dasar dari penciptaan teori
3.   mengakui aktifitas manusia dan akibatnya dalam penciptaan pengetahuan dan teori-teori baru.
            Intusionisme (dan konstruktifisme, lebih umumnya) sesuai dengan deskripsi ini. Karena intusionisme adalah pondasionis dan absolutis yang berusaha mencari pondasi (dasar) yang kuat untuk pengetahuan  matematika melalui pembuktian-pembuktian intusionistik dan “ur-intuition” (Kalmar, 1967).
            Intusionisme dan filsafat absolutis progresif secara umum memenuhi kriteria dibandingkan dengan filsafat absolut formal, meskipun secara keseluruhan tetap memberikan penentangan karena aliran ini memberikan ruang, meskipun terbatas, untuk para ahli matematika yang beraktivitas (Kriteria 4). Mereka memandang elemen manusia, meskipun dalam bentuknya yang unik, memiliki tempat dalam matematika informal. Harus diakui bahwa aliran ini memenuhi sebagian kriteria.
C. Platonisme
            Platonisme adalah pandangan bahwa objek matematika memiliki eksistensi objektif yang nyata dalam beberapa wilayah ideal. Pandangan ini berasal dari Plato dan dapat dilihat dalam tulisan penganut aliran Logis seperti Frege dan Rusell, dan juga Cantor, Bernays (1934), Hardy (1967) dan Godel (1964). Penganut aliran Platonis berpendapat bahwa objek dan struktur matematika memiliki eksistensi nyata yang terpisah dari kemanusiaan dan oleh karena itu matematika adalah proses untuk menemukan hubungan yang ada dibaliknya. Menurut penganut aliran Platonis pengetahuan matematika terdiri dari penjelasan objek-objek dan hubungan dengan struktur yang menghubungkan mereka.
            Platonisme dengan jelas memberikan pemecahan terhadap persoalan objektifitas matematika. Platonisme mencakup baik kebenarannya dan eksistensi objeknya sebagaimana juga kemandirian matematika yang memiliki hukum dan logika sendiri. Yang lebih menarik disini adalah adanya fakta bahwa filsafat yang tampaknya tidak masuk akal ini berhasil menciptakan ahli matematika seperti Cantor dan Godel.
Disamping hal yang menarik seperti itu, platonisme memiliki dua kelemahan penting. Pertama, aliran ini tidak mampu menawarkan penjelasan yang tepat terkait dengan bagaimana ahli matematika memperoleh akses ke dalam pengetahuan yang ada dalam wilayah platonic. Kedua, aliran ini tidak mampu memberikan deskripsi yang tepat untuk matematika baik secara  internal atau eksternal. Karena aliran ini tidak dapat memenuhi persyaratan di atas, platonisme ditolak sebagai filsafat matematika.
D.  Konvensionalisme
            Pandangan pengikut aliran konvensionalis menyebutkan bahwa pengetahuan matematika dan kebenaran didasarkan pada konvensi linguistik. Atau lebih jauh kebenaran logika dan matematika memiliki sifat analitis, benar karena ada hubungan nilai dari makna istilah yang digunakan. Bentuk moderat dari konvensionalisme seperti Quine (1936) atau Hempel (1945) menggunakan konvensi linguistik sebagai sumber kebenaran matematika dasar yang menjadi landasan konstruksi bangunan matematika. Bentuk konvensionalisme ini sedikit banyak sama dengan “ifthenisme” yang dijelaskan di Bab 1 sebagai posisi mempertahankan diri aliran pondasionis yang sudah kalah. Pandangan ini tetap saja absolutis dan tetap dapat dikenakan penolakan yang sama.
Filasafat matematika konvensionalis telah dikritik oleh penulis sebelumnya dengan dua alasan. Pertama, dikatakan disini bahwa aliran ini tidak banyak memberikan informasi. Terlepas dari penjelasan tentang sifat social matematika, konvensionalisme hanya memberikan sedikit informasi. Kedua, penolakan dari Quine. Penolakan Quine tidak memiliki alasan kuat karena penolakan itu tidak dapat dikenakan pada bahasa asli dan dikenakan pada peran pembatas pada konvensi umum. Sebaliknya dia benar dengan mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan semua kebenaran matematika dan logika yang dikemukakan secara literal seperti aturan dan konvensi linguistik. Meskipun Quine mengkritik konvensionalisme terkait dengan logika, dia memandang aliran ini memiliki potensi menjadi filsafat matematika yang sedikit berbeda.
E. Empirisme
Pandangan empiris tentang pengetahuan matematika (“empirisme naïf” untuk membedakannya dengan empirisme kuasi”nya Lakatos) menyebutkan bahwa kebenaran matematika adalah generalisasi empirik. Kami membedakan dua tesis empiris: (i) konsep matematika memiliki asal usul empirik dan (ii) kebenaran matematika memiliki dasar kebenaran empirik maka diambil dari dunia nyata. Tesis pertama tidak dapat disangkal dan telah diterima oleh sebagian besar filsuf matematika (sehingga banyak konsep tidak terbentuk secara langsung dari pengamatan tetapi terdefinisi karena adanya konsep lain yang menyebabkan terbentuknya konsep dari pengamatan melalui serangkaian definisi). Tesis yang kedua ditolak oleh semua pihak kecuali penganut aliran empiris karena arahnya yang mengarah ke ketidakjelasan. Penolakan pertama beralasan bahwa sebagian besar ilmu matematika diterima dengan dasar alasan teoritis dan bukan empiris. Oleh karena itu saya tahu bahwa 999.999 + 1 = 1.000.000 tidak melalui pengamatan kebenarannya di dunia tetapi melalui pengetahuan teoritis saya tentang angka dan penjumlahan.
            Empirisme terbuka untuk sejumlah kritik. Pertama, ketika pengalaman kita berlawanan dengan kebenaran matematika dasar, kita tidak akan menyangkalnya (Davis dan Hersh, 1980). Kita justru akan berasumsi bahwa mungkin ada kesalahan dalam penalaran kita karena ada kesepakatan bersama tentang matematika sehingga kita tidak dapat menolak kebenaran matematika (Wittgenstein, 1978). Oleh karena itu, “1 + 1 = 3” sangat jelas salah, bukan karena jika seekor kelinci ditambahkan ke kelinci lainnya tidak dapat berjumlah tiga kelinci tetapi dengan definisi “1 + 1” artinya “pengganti dari 1” dan “2” adalah pengganti dari “1”. Kedua, matematika sangat abstrak dan begitu banyak konsepnya tidak memiliki keaslian dalam pengamatan di dunia nyata. Justru konsep tersebut didasarkan pada konsep yang sudah terbentuk sebelumnya. Kebenaran-kebenaran tentang konsep seperti itu yang membentuk bangunan matematika tidak dapat dikatakan berasal dari kesimpulan dari observasi dunia luar. Ketiga, empirisme bisa dikritik karena terfokus secara eksklusif pada masalah-masalah pondasionis dan gagal menguraikan kecukupan tentang pengetahuan  matematika. Dengan dasar kritik ini kami menolak pandangan empirik sebagai filsafat matematika yang tepat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS