Pages

Peranan Pengetahuan Obyektif dan Subyektif dalam Matematika

Rabu, 14 Desember 2016


Peranan Pengetahuan Obyektif dalam Matematika

Setelah menjelaskan arti objektivitas yang dipahami sebagai sosial, perlu sedikit mengulangi penjelasan konstruktivis sosial tentang pengetahuan matematika objektif. Menurut konstruktivisme sosial, matematika yang terpublikasi, yaitu matematika yang dinyatakan secara simbolis dalam wilayah publik, memiliki potensi menjadi pengetahuan objektif. Penerapan logika Lakatos dalam penemuan matematika ke matematika terpublikasi ini adalah proses yang mengarah pada penerimaan sosial, dan dengan demikian ke objektivitas. Setelah aksioma matematis, teori, dugaan, dan bukti-bukti dirumuskan dan disajikan di depan umum, bahkan walaupun hanya dalam percakapan,  otonom heuristik (yaitu keberterimaan sosial) mulai bekerja. Baik proses maupun hasilnya adalah objektif, diterima secara sosial. Demikian juga, baik kesepakatan implisit maupun eksplisit dan aturan bahasa dan logika yang berpijak heuristik ini adalah objektif, juga diterima secara sosial. Kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang diklaim itu, berdasarkan paham konvensional, mendukung pengetahuan matematika (termasuk logika). Mereka memberikan dasar definisi logis dan matematika, sebagaimana dasar untuk aturan-aturan dan aksioma-aksioma dari logika dan matematika.

Peranan Pengetahuan Subyektif dalam Matematika

Meskipun peran pengetahuan objektif sangat penting, namun perlu juga dikemukakan bahwa peran subjektif pengetahuan matematika juga harus diakui, atau jika tidak, penjelasan tentang matematika secara keseluruhan akan menjadi tidak lengkap. Pengetahuan subyektif diperlukan untuk menjelaskan asal-usul pengetahuan matematika baru serta sesuai dengan teori yang diusulkan, penciptaan kembali dan keberlanjutan keberadaan pengetahuan. Oleh karena pengetahuan objektif adalah sosial, dan bukanlah entitas subsisten-diri (self-subsistent) yang ada suatu wilayah yang ideal maka, sebagaimana semua aspek budaya pengetahuan ini, harus direproduksi dan diwariskan dari generasi ke generasi (diakui dengan bantuan artefak, seperti buku-buku bacaan). Menurut penjelasan konstruktivis sosial, pengetahuan subjektif adalah apa yang melanjutkan dan memperbaharui pengetahuan, apakah itu matematika, logika atau bahasa. Jadi pengetahuan subjektif memainkan bagian inti dalam membahas filsafat matematika.
Setelah mengatakan hal ini, harus diakui bahwa perlakuan pengetahuan subjektif sebagaimana pada pengetahuan objektif, dalam teori yang dikemukakan, adalah bertentangan dengan banyak pemikiran modern dalam filsafat, dan dalam filsafat matematika, sebagaimana telah kita lihat (terkecuali intuisionisme, yang telah ditolak). Sebagai contoh, Popper (1959) telah sangat hati-hati membedakan antara konteks penemuan dan konteks pembenaran dalam sains. Ia menganggap konteks yang terakhir sebagai bahasan untuk analisis logis, dan dengan demikian menjadi kajian yang tepat bagi filsafat. Pembentuk konteks, bagaimanapun, menyangkut persoalan empiris, dan karenanya merupakan perhatian yang tepat untuk psikologi, dan bukan logika atau filsafat.
Anti-psychologisme, suatu pandangan bahwa pengetahuan subjektifatau paling tidak aspek psikologisnya adalah tidak teruji untuk perlakuan filosofis, berdasarkan pada argumen berikut. Filsafat terdiri dari analisis logis, termasuk masalah-masalah metodologis seperti syarat-syarat umum untuk kemungkinan pengetahuan. Inkuiri seperti ini adalah pengetahuan awal (a priori), dan sepenuhnya bebas dari sembarang pengetahuan empiris tertentu. Isu-isu subjektif merupakan isu psikologis sampingan, karena mereka acuan sampingan pada isi pikiran individual. Tapi hal seperti itu, dan psikologi pada umumnya, adalah empiris. Oleh karena itu, karena perbedaan kategori ini (a priori versus dunia empiris) pengetahuan subjektif tidak dapat menjadi perhatian filsafat.
Argumen ini ditolak pada dua alasan. Pertama, kritik yang kuat absolutisme, dan karena kemungkinan pengetahuan apriori tertentu telah dipasang. Atas dasar ini, semua yang disebut pengetahuan awal, termasuk logika dan matematika, tergantung pada peruntukan pembenaran di dasar quasi-empiris. Tapi ini secara efektif menghancurkan perbedaan kategori unik antara pengetahuan apriori dan pengetahuan empiris. Jadi perbedaan ini tidak dapat digunakan untuk menolak penerapan metode filsafat apriori pengetahuan obyektif ke pengetahuan subjektif, dengan alasan bahwa catatan terakhir secara empiris ternoda. Karena sekarang kita lihat bahwa semua pengetahuan, termasuk pengetahuan objektif, adalah secara empiris (atau lebih tepatnya quasi-empiris) tercemar.
Argumen kedua, yang bebas dari yang pertama, adalah sebagai berikut. Dalam membahas pengetahuan subjektif, tidak dimaksudkan untuk mendiskusikan isi tertentu pikiran-pikiran individual, atau teori-teori psikologi empiris tertentu dari pikiran dengan kedok filsafat. Akan tetapi bermaksud untuk mendiskusikan kemungkinan pengetahuan subjektif secara umum, dan apa yang disimpulkan tentang sifat yang mungkin berdasarkan penalaran logis saja (diketahui sejumlah asumsi teoretis). Ini adalah kegiatan filosofis yang sah, seperti halnya filsafat ilmu dapat secara sah merefleksikan sebuah realita empiris, yaitu ilmu pengetahuan, tanpa menjadi realita empiris itu sendiri. Jadi pengetahuan subjektif adalah bahasan yang tepat untuk penemuan filosofis. Jadi pengetahuan subyektif merupakan areal yang sah dari penyelidikan filosofis, yang didasarkan pada tradisi filsafat yang substansial.
Meskipun klaim bahwa keputusan pengetahuan subjektif merupakan psikologistik adalah dibantah, tapi diakui bahwa ada bahaya nyata dan legitimasi sah yang muncul dari perlakuan filosofis pengetahuan subyektif. Untuk itu membuat lebih mudah untuk melakukan kesalahan penggunaan penalaran psikologistik dalam filsafat, yaitu penalaran yang didasarkan pada kepercayaan psikologis dari kebutuhan sebagai lawan dari argumentasi logis. Selain itu, pembedaan antara pengetahuan subjektif dan pengetahuan objektif adalah salah satu yang vital untuk menjaga, baik untuk konstruktivisme sosial, maupun filsafat umumnya. Ini adalah dua wilayah yang benar-benar berbeda dari pengetahuan.
Untuk alasan ini, dalam pengutaraan filsafat konstruktivis sosial dari matematika, wilayah pengetahuan objektif dan subjektif akan diperlakukan secara terpisah. Aspek obyektif filosofi ini adalah bebas dari aspek subjektif dari segi pembenarannya. Jadi kewaspadaan pembaca pada psychologisme dapat mengikuti aspek obyektif dari konstruktivisme sosial tanpa ragu (setidaknya tentang masalah ini).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS