Ruthven (1987) memberikan krtik yang tajam atas stereotip
kemampuan, dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi pencapaian matematika
siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam topik dan waktunya. Di
sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri dan pembedaan
kurikulum dalam matematika yang bisa membuat permintaan kognitif yang tinggi
dan rendah dari pencapaian siswa yang tinggi dan rendah, yang memperburuk
perbedaan yang ada. Kritik ini bisa didukung oleh dua pandangan teoritis:
sosiologis dan psikologis.
Argumen
sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika
berasal dari teori labelling. Kaitan yang kuat antara latar belakang
sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua jenis merupakan yang paling
lama dibangun dan merupakan hasil yang paling didukung dalam penelitian sosial
dan pendidikan (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara
khusus, ada bukti yang luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup
berpendidikan dan kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang
paling mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling,
menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label seseorang
sebagai orang yang mencapai kemampuan matematika rendah, misalnya seringnya
pemenuhan diri. Sehingga kemampuan yang tersebar luas dalam pengajaran
matematika, meskipun hanya terkait dengan ukuran pencapaian, telah memiliki
pengaruh pemberian label dengan dasar kemampuan, dan akhirnya akan mempengaruhi
prestasi dalam bidang matematika, dan menjadi pemenuhan diri (Meighan, 1986;
Ruthven, 1987)
Dasar
teoritis kedua untuk menolak pandangan kemampuan hirarkis adalah psikologis.
Ada tradisi dalam psikologi Soviet yang menolak gagasan kemampuan tetap, dan
menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman sosial. Perkembangan
ini dipercepat secara politis pada tahun 1936 ketika Soviet melarang penggunaan
uji mental, yang menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal
kemampuan (Kilpatrick dan Wirszup, 1976). Kontributor yang berkembang dalam
tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran
berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui
interaksi sosial, melampaui “zone of proximal development”. Interaksi perkembangan
personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (teori aktivitas) oleh
Leont’ev (1978) dan lainnya. Dalam keseluruhan tradisi ini, psikolog Krutetskii
(1976) telah mengembangkan konsep kemampuan matematis yang sifatnya lebih tidak
tetap dan tidak begitu hirarkis dibandingkan dengan yang dibahas sebelumnya.
Pertama dia menawarkan kritik tentang pandangan yang relatif tetap pada
kemampuan matematika yang berakar dari tradisi psikometrik dalam psikologi. Lalu
dia menawarkan teori kemampuan matematikanya sendiri yang didasarkan pada
proses mental yang dikembangkan oleh individu yang digunakan dalam memecahkan
masalah matematika. Dia mengakui perbedaan individu dalam pencapaian
matematika, namun memberikan bobot yang besar pada pengalaman yang berkembang
dan formatif dari pelajar dalam menyadari potensi matematikanya.
Tentu saja, potensi ini sifatnya tidak konstan dan bisa
diubah. Guru seharusnya tidak memasukkan gagasan dalam dirinya bahwa kinerja
anak berbeda-beda-dalam matematika katakanlah- ini merupakan refleksi level
kemampuan. Kemampuan bukanlah takdir namun ini dibentuk dan dikembangkan
melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas. Sehingga kita membicarakan
keharusan untuk membentuk, mengembangkan, mengolah dan meningkatkan kemampuan
anak, dan kita tidak bisa memprediksi secara pasti seberapa jauh perkembangan
ini bisa terjadi.
(Krutetskii, 1976,
hal 4)
Tradisi psikologis Soviet memiliki dampak yang
meingkat dalam pendidikan matematika (Christiansen dan Walther, 1986; Crawford,
1989; Mellin-Olsen, 1987). Diakui bahwa level kognitif respon siswa dalam
matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga keterampilan
dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas matematika. Hal ini
memerlukan perkembangan pendekatan ilmu pendidikan dalam matematika yang
sifatnya sensitif dan berkaitan dengan sasaran serta budaya siswa. Siswa yang
diberi label “kurang mampu dalam matematika” bisa secara cepat meningkatkan
level kinerjanya ketika mereka terlibat secara sosial dan budaya dalam
aktivitas terkait matematika (Mellin-Olsen, 1987)
Konfirmasi
empirik lain dalam ketidak-stabilan kemampuan bisa ditemukan dalam fenomena idiot savant. Disini, orang yang diberi
label “tidak berpendidikan” bisa menunjukkan level tinggi yang sangat
mengagumkan dalam domian dimana mereka menjadi terlibat (Howe, 1987)
Secara keseluruhan, ada dasar teori yang kuat (dan empirik)
tentang penolakan terhadap pandangan hirarkis tentang kemampuan matematis, dan
menghubungkan hal ini lebih pada perkembangan sosial, yang muncul dari tradisi
Soviet. Dipasangkan dengan argumen sosiologis, hal ini meliputi kasus yang
bertentangan dengan pandangan hirarkis tentang kemampuan dalam matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar