Pages

Kritik terhadap Pandangan Hirarkis Kemampuan Matematis

Jumat, 23 Desember 2016


Ruthven (1987) memberikan krtik yang tajam atas stereotip kemampuan, dan berpendapat sebaliknya, dimana konsistensi pencapaian matematika siswa kurang dari yang diperkirakan, berbeda-beda dalam topik dan waktunya. Di sisi lain, harapan guru dan stereotip menjadi pemenuhan diri dan pembedaan kurikulum dalam matematika yang bisa membuat permintaan kognitif yang tinggi dan rendah dari pencapaian siswa yang tinggi dan rendah, yang memperburuk perbedaan yang ada. Kritik ini bisa didukung oleh dua pandangan teoritis: sosiologis dan psikologis.
          Argumen sosiologis yang menolak pandangan hirarakis tentang kemampuan dalam matematika berasal dari teori labelling. Kaitan yang kuat antara latar belakang sosial dan kinerja pendidikan dari hampir semua jenis merupakan yang paling lama dibangun dan merupakan hasil yang paling didukung dalam penelitian sosial dan pendidikan (Departemen pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, 1988b). Secara khusus, ada bukti yang luas di Inggris mengenai hubungan kesempatan hidup berpendidikan dan kelas sosial (Meighan, 1986). Mungkin penjelasan teori yang paling mendapat banyak dukungan dari efek ini didasarkan pada teori labeling, menurut Becker (1963), dan lain-lain. Segi utama dari pemberian label seseorang sebagai orang yang mencapai kemampuan matematika rendah, misalnya seringnya pemenuhan diri. Sehingga kemampuan yang tersebar luas dalam pengajaran matematika, meskipun hanya terkait dengan ukuran pencapaian, telah memiliki pengaruh pemberian label dengan dasar kemampuan, dan akhirnya akan mempengaruhi prestasi dalam bidang matematika, dan menjadi pemenuhan diri (Meighan, 1986; Ruthven, 1987)
          Dasar teoritis kedua untuk menolak pandangan kemampuan hirarkis adalah psikologis. Ada tradisi dalam psikologi Soviet yang menolak gagasan kemampuan tetap, dan menghubungkan perkembangan psikologis dengan pengalaman sosial. Perkembangan ini dipercepat secara politis pada tahun 1936 ketika Soviet melarang penggunaan uji mental, yang menghentikan penelitian pada perbedaan individu dalam hal kemampuan (Kilpatrick dan Wirszup, 1976). Kontributor yang berkembang dalam tradisi ini adalah Vygotsky (1962), yang menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran berkembang bersama-sama, dan bahwa kemampuan pelajar bisa diperluas, melalui interaksi sosial, melampaui “zone of proximal development”. Interaksi perkembangan personal dan konteks sosial serta sasaran melalui aktivitas menjadi dasar dari Activity Theory (teori aktivitas) oleh Leont’ev (1978) dan lainnya. Dalam keseluruhan tradisi ini, psikolog Krutetskii (1976) telah mengembangkan konsep kemampuan matematis yang sifatnya lebih tidak tetap dan tidak begitu hirarkis dibandingkan dengan yang dibahas sebelumnya. Pertama dia menawarkan kritik tentang pandangan yang relatif tetap pada kemampuan matematika yang berakar dari tradisi psikometrik dalam psikologi. Lalu dia menawarkan teori kemampuan matematikanya sendiri yang didasarkan pada proses mental yang dikembangkan oleh individu yang digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Dia mengakui perbedaan individu dalam pencapaian matematika, namun memberikan bobot yang besar pada pengalaman yang berkembang dan formatif dari pelajar dalam menyadari potensi matematikanya.
          Tentu saja, potensi ini sifatnya tidak konstan dan bisa diubah. Guru seharusnya tidak memasukkan gagasan dalam dirinya bahwa kinerja anak berbeda-beda-dalam matematika katakanlah- ini merupakan refleksi level kemampuan. Kemampuan bukanlah takdir namun ini dibentuk dan dikembangkan melalui instruksi, praktek dan penguasaan aktivitas. Sehingga kita membicarakan keharusan untuk membentuk, mengembangkan, mengolah dan meningkatkan kemampuan anak, dan kita tidak bisa memprediksi secara pasti seberapa jauh perkembangan ini bisa terjadi.
(Krutetskii, 1976, hal 4)
Tradisi psikologis Soviet memiliki dampak yang meingkat dalam pendidikan matematika (Christiansen dan Walther, 1986; Crawford, 1989; Mellin-Olsen, 1987). Diakui bahwa level kognitif respon siswa dalam matematika ditentukan tidak hanya oleh kemampuan siswa, namun juga keterampilan dimana guru mampu melibatkan siswanya dalam aktivitas matematika. Hal ini memerlukan perkembangan pendekatan ilmu pendidikan dalam matematika yang sifatnya sensitif dan berkaitan dengan sasaran serta budaya siswa. Siswa yang diberi label “kurang mampu dalam matematika” bisa secara cepat meningkatkan level kinerjanya ketika mereka terlibat secara sosial dan budaya dalam aktivitas terkait matematika (Mellin-Olsen, 1987)
          Konfirmasi empirik lain dalam ketidak-stabilan kemampuan bisa ditemukan dalam fenomena idiot savant. Disini, orang yang diberi label “tidak berpendidikan” bisa menunjukkan level tinggi yang sangat mengagumkan dalam domian dimana mereka menjadi terlibat (Howe, 1987)
          Secara keseluruhan, ada dasar teori yang kuat (dan empirik) tentang penolakan terhadap pandangan hirarkis tentang kemampuan matematis, dan menghubungkan hal ini lebih pada perkembangan sosial, yang muncul dari tradisi Soviet. Dipasangkan dengan argumen sosiologis, hal ini meliputi kasus yang bertentangan dengan pandangan hirarkis tentang kemampuan dalam matematika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS