Mungkin
teoretikus paling berpengaruh dalam struktur masyarakat adalah Karl Marx
(1967). Dia berpendapat bahwa kondisi material dan hubungan produksi mempunyai
kekuatan penentu atas struktur dan hubungan dalam masyarakat. Khususnya,
masyarakat memiliki dasar ekonomi dan infrastruktur, dimana dalam “contoh
terakhir” menentukan dua level superstrukturnya, hukum dan negara bagian dan ideologi
terkait. Negara bagian, melalui “aparatur negara yang bersifat menekan”
(kebijakan, penjara, tentara, dan lain sebagainya) bertahan dan mereproduksi
produksi industrial dalam modal dan kelas dominan.
Namun
tulisan ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara yang berkaitan dengan
pemaksaan kekuatan dalam masa dan masyarakat secara umum. Ada pandangan yang
“kuat” bahwa kondisi sosial sangat determinatif sifatnya, dan bahwa manusia
dipenjarakan tanpa kunci dari teori Marx yang digunakan untuk menembus
kesadaran dan tekanan yang salah. Ada juga posisi determinist yang lebih
lembut, dimana kemanusiaan mampu memberikan reaksi, dan dimanapun mampu
menciptakan perubahan sosial (Simon, 1976). Pebedaan yang bisa dibedakan
digambarkan oleh Giroux (1983) antara tradisi “strukturalis” dan “kulturalist’
dalam teori neo-Marxist, yang menekankan pentingnya struktur sosial dan
ekonomi, atau budaya dan hubungannya dengan agen manusia.
Determinisme
Keras
Teoretikus modern yang sangat berpengaruh dalam
tradisi ini adalah Althusser (1971). Dia berpendapat bahwa sebagai tambahan
pada “aparatur negara yang menindas” reproduksi sosial tergantung pada
“aparatur negara ideologis”, yang meliputi pendidikan, agama, hormat pada
hukum, politik, dan budaya, dan bahwa tidak ada kelas yang bisa menjaga
kekuasaan tanpa memperluas hegemoni atau dominasi budaya atas area tertentu.
Pendidikan merupakan “aparatur negara ideologis” paling kuat dalam mereproduksi
hubungan, yang menanamkan penerimaan tenaga kerja dan kondisi kehidupan massa.
Bourdieu
dan Passeron (1977) mengajukan teori sekolah dan reproduksi masyarakat yang
sesuai dengan kategori ini. Alam kaitannya dengan budaya linguistik (lebih
umumnya adalah “modal budaya” khususnya penting dalam menentukan hasil
pendidikan sosial, dalam kaitannya dengan keanggotaan kelas. Mereka menyebutnya
“symbolic violence” dominasi budaya dari kelas pekerja yang menutupi reproduksi
sosial.
Perkembangan
thesis deterministik keras yang berpengaruh yang memainkan peran ideologi
adalah Bowles dan Gintis.
Hubungan terkini antara pendidikan dan ekonomi dipastikan
tidak melalui isi pendidikan namun melalui bentuknya: hubungan sosial dari
pertemuan yang terkait pendidikan. Pendidikan mempersiapkan siswa untuk menjadi
pekerja melalui penyesuaian antara hubungan produksi sosial dan hubungan
pendidikan sosial. Seperti layaknya divisi tenaga kerja dalam perusahaan
kapitalis, sistem pendidikan menilai hirarki otoritas dan kontrol dengan baik
dimana kompetisi bukan kooperasi mengatur hubungan antara partisipan….urutan
hirarkis dari sistem sekolah disesuaikan dengan persiapan siswa untuk posisi
masa depan mereka dalam hirarki produksi, membatasi perkembangan kapasitas yang
melibatkan latihan timbal balik dan partisipasi demokratik dan memperkuat
ketidaksamaan sosial dengan mengesahkan tugas siswa pada tempat yang tidak sama
dalam hirarki sosial.
(Gintis dan Bowles, 1980, hal 52-53)
Sehebat apapun argumen ini, mereka dipengaruhi dua
kesalahan utama. Pertama, sifatnya terlalu deterministik dalam membelenggu
pendidikan pada kondisi produksi. Dalam hal ini, mereka tidak membiarkan adanya
eksploitasi kekuatan berlawanan dalam kerja sistem, serta lembaga manusia atau
resistansi didalamnya (Giroux, 1983). Kedua, khususnya dalam kasus Bowles dan
Gintis (1976), mereka menolak sifat pengetahuan, yang sudah kita lihat
sebelumnya, berkaitan dengan ideologi dan kelas, dan tidak bisa diabaikan.
Determnisme
Lembut
Banyak dari pandangan yang diperlihatkan di atas
tetap valid untuk pandangan reproduksi deterministik yang lebih lembut yang diperlihatkan
disini. Namun, di luar determinisme struktural Gramski (1971) berpendapat bahwa
dominasi masyarakat oleh satu kelas memerlukan hegemoni budaya. Ini merupakan
dominasi budaya dengan pembenaran satu kelas membingungkan serta memaksakan
kekuasaan dan prestisenya hegemoni seperti ini memenuhi “pengertian umum” dari
massa, dan karenanya mengamankan izin dan persekongkolan yang tidak diketahui
oleh mereka.
Williams
(1976) membangun konsep hegemoni, namun memberikan opini bahwa ada bentuk
alternatif dan oposisi kehidupan dan budaya sosial yang mungkin menggabungkan
alternatif atau bahkan bentuk yang berlawanan. Hal ini menjelaskan poin penting
dan yang lebih umum yang dibuat oleh William, terkait dengan keserberagaman
ideologi dan budaya. Ini semua terlalu mudah untuk jatuh dalam perangkap yang
bergerak dari hegemoni pada pandangan yang sederhana dan statis dari budaya.
William menekankan kompleksitasnya dan dinamikanya
Giroux
(1983) mengakui sifat kompleks dari budaya. Dia menyatakan bahwa dalam budaya
sekolah ada perlawanan yang lebih dari skedar respon pada kurikulum
authoritarian, dan mencerminkan agenda alternatif. Dia berpendapat berdampingan
dengan Freire dan pendidik publik lainnya dimana melalui pendidikan kritis,
siswa bisa dibebaskan dari kekuatan reproduktif pada kerja di sekolah.
Secara
keseluruhan, menurut pengelompokan kedua ini, kekuatan yang cenderung
mereproduksi struktur hirarkis dari masyarakat diakui, seperti pentingnya
budaya, ideologi dan pengetahuan. Namun hal ini dipandang memiliki peran ganda,
sebagai arti penting dari dominasi dan juga makna bagi emansipasi. Sejumlah
penulis telah menerapkan satu atau bentuk lain dari ide di atas pada pendidikan
matematika, seperri Cooper (1989), Mellin-Olsen (1987), Noss (1989, 1989a) dan
lainnya dalam Noss (1990). Noss dan Cooper menyimpulkan bahwa ini merupakan
bentuk isi pendidikan matematika (misalnya kurikulum tersembunyi) yang membawa
tujuan sosialnya.
Cooper
berpendapat bahwa hegemoni sekolah mempraktekkan kekuasaan negatif atas guru
sekolah yang utama yang mengikat mereka pada otoritas tradisional dan
pendekatan rutin pada matematika, dan pada kurikula yang berbeda yang berfungsi
untuk menciptakan ulang hirarki sosial. Elemen-elemen dari kebenaran lingkaran
penjelasan ini, dan memberikan pandangan yang berharga seperti bagaimana
tekanan budaya mengikuti rantai kekuasaan dalam hirarki sekolah. Namun
demikian, hal ini terlalu sederhana dalam tingkat keyakinan dan ideologi guru
dan kelompok dengan tekanan sosial.
Noss
menunjukkan kasus yang hebat untuk thesis deterministik yang lemah dalam
pendidikan matematika, dan mengidentifikasi kurikulum nasional dalam matematika
yang berfungsi sebagai fungsi reproduktif yang sangat anti pendidikan (Noss,
1989, hal 1). Dia berpendapat bahwa ada kontradiksi dalam sistem yang
memungkinkannya untuk berfungsi untuk tujuan pendidikan. Secara khusus,
prioritas rendah disesuaikan dengan isi matematika, dalam pandangannya hal ini
bisa dieksploitasi guna memperkuat pendidikan demokratis. Namun dia tidak
mengakui bahwa struktur hirarkis dari isi kurikulum bertugas menciptakan ulang
sebuah stratifikasi masyarakat yang hirarkis, seperti yang akan dikemukakan
berikut. (Meskipun dalam Noss, 1989a, disarankan bahwa kurikulum kemampuan
dasar dalam matematika untuk memberikan keterampilan tenaga kerja mengenai
eksploitasi keuangan.)
Mellin-Olsen
(1987) mengakui keberadaan tenaga reproduktif dalam pendidikan matematika dan
masyarakat, dan membangunnya dalam gambaran teoritis juga dalam psikologi
sosial, antropologi dan psikologi. Dia menekankan, mengikuti Giddens (1979)
bahwa individu menciptakan ideologi serta hidup dengan ideologi tersebut.
Secara khusus, dia mengidentifikasi resistansi pada hegemoni dengan produksi ideologi
alternatif dalam hal aktivitas. Dia berpendapat bahwa memperkuat pendidikan
matematika harus memahami kesempatan ini: pendidikan matematika yang penting
harus memberikan alat untuk berpikir bagi para pelajar untuk terlibat dalam
aktivitas yang menantang ideologi implisit dari sekolah.
Penilaian
singkat tidak bisa membenarkan teori Millen-Olsen, memberikan dukungan argumen
dan menghubungkannya dengan praktek. Nmaun, bisa dikatakan bahwa hal ini
terbagi dalam dua area kelemahan yang sebelumnya teridentifikasi dalam
penilaian reproduksi sosial. Pertama, hal ini tidak membedakan ideologi dan
kepentingan kelompok sosial pada kerja kurikulum matematika. Ini mungkin
terlihat tidak begitu penting untuk argumen umum yang diberikan oleh
Millen-Olsen, namun hal ini sebenarnya diperlukan sebelum ideologi implisit sekolah
bisa ditantang. Kedua, Hal ini tidak menggali elemen ideologi, dan di atas
semua itu, tidak mempertimbangkan pandangan sifat matematika, yang sifatnya
sangat penting bagi pendidikan matematika, berdasarkan pernyataan dalam buku
ini.
Secara
keseluruhan, ada dukungan yang luas untuk pernyataan bahwa pendidikan membantu
mereproduksi struktur masyarakat hirarkis, berfungsi dalam masalah kekayaan dan
privilege. Namun, pernyataan ini perlu dipahami agar tahu kompleksitas hubungan
dalam masyarakat, dan yang mengubah karakter deterministik dari bentukan asli.
Pernyataan reproduksi yang diubah ini tergantung pada ideologi, sehingga ini
tepat untuk menggali hubungannya dengan model ideologi pendidikan buku ini.
Pelatih
industrial
Dalam hal lingkungan sosial massa, pelatih
industrial secara langsung bersifat reproduktif. Karena itu, pelatihan sosial
massa melalui matematika merupakan bagian persiapan untuk kehidupan tenaga
kerja yang patuh. Latihan, hafalan, praktek, demarkasi dualistik antara yang
benar dan yang salah, serta otoritas hirarkis yang tegas dari guru akan
membantu menanamkan perkiraan dan nilai yang tepat untuk mendisiplinkan pekerja
masa depan untuk peran dalam masyarakat, sedangkan strata yang lebih tinggi
dari masyarakat masa depan tidak begitu diatur. Pelatihan level rendah juga
memastikan bahwa masa menjadi tenaga kerja yang murah (Noss, 1989a). Sasaran
inti dari kelompok ini diperoleh dari banyak kelompok yang lebih baik dan
ideologinya melibatkan penjagaan kelompok sosial asli mereka dalam tempat
mereka.
Humanist
Lama
Humanist lama fokus pada perkembangan kemampuan
serta bakat matematika dan penanaman nilai matematika murni. Hal ini mempermudah
pemeliharaan dan reproduksi badan ahli matematika, yang menunjukkan porsi
profesional, elit kelas menengah, dengan budaya kelas menengah yang murni. Hal
ini bisa dilihat dari divisi antara kerja dengan tangan dan dengan otak, dan
budaya concomittent serta pembedaan
kelas (Restivo, 1985). Kelompok ini mempunyai tradisi yang lebih kuat atas isi
kurikulum matematika, menjadikannya bergerak dari atas ke bawah (top down)
melayani kepentingan kelompok bukan “dari bawah ke atas” melayani kepentingan
semua. Dengan fokus pada kebutuhan para elit, dan keberlangsungannya, maka
ideologi ini berusaha mereproduksi struktur kelas masyarakat.
Dua
kelompok ini fokus pada pemeliharaan kelompok dan batasannya. Humanist lama
merupakan bagian dari kelompok profesional dari kelas menengah dengan kekuasaan
ekonomi serta politik, dan dengan budaya yang kemurniaanya berfungsi untuk
mendefinisikan dan mempertahankan batas kelompok. Douglas (1966) telah
berpendapat secara umum bahwa kemurnian berfungsi untuk mempertahankan batas
kelompok dalam hal ini, dengan dasar kerja antropologis yang luas. Tujuan dan
ideologi yang paling murni dari kelompok ini sesuai dengan pola ini. Pelatih
industrial yang ditujukan bagi pendidikan matematika bukanlah yang paling
murni, dan juga berfungsi untuk menjaga batas kelompok disekitar masa, dan
karenanya mereka memiliki batas kelompok sendiri. Hal ini terlihat tidak
konsisten dalam kemurnian moral dalam tradisi Judeo-Christian (kebersihan
berada disamping ketuhanan, ‘dosa asli’), berlawanan dengan kemurnian
epistimologis dari humanist lama. Sehingga, konsepsi kemurnian budaya Douglas
(dan isinya) sebagai respon pada ancaman batas kelompok juga diaplikasikan
disini.
Pragmatists
teknologis
Pragmatis teknologis tidak begitu memperhatikan
penjagaan batas kelas, dan karenanya tidak begitu reproduktif. Masyarakat
dipandang sebagai dasar pada kekayaan dan kemajuan, dengan mengikuti inovasi
dan kemajuan teknologi. Pendidikan matematika merupakan bagian dari keseluruhan
pelatihan atas populasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan, dan tujuan sosial
yang jelas bersifat meritokratik. Gerakan sosial dalam dasar pencapaian
teknologi merupakan bagian dari pandangan ini, karena industri dan sektor
lainnya terus meluas dan memerlukan karyawan yang terlatih dalam bidang
teknologi. Namun, stratifikasi sosial dengan dasar kelas yang ada tidak
dipertanyakan, dan akibatnya berbagai faktor dan perkiraan berfungsi untuk
mereproduksi divisi dan stratifikasi sosial.
Pendidik
progresif
Pendidik progresif ditujukan untuk matematika
fokus pada perwujudan dan pemenuhan manusia melalui matematika sebagai arti
dari ekspresi diri dan pengembangan personal. Penekanan dari pandangan ini
sangatlah individualistik. Sedangkan hal ini diarahkan untuk kemajuan individu
dalam sejumlah cara, tidak menempatkan mereka dalam matriks sosial, serta tidak
mengetahui konflik pada kerja dalam masyarakat yang menggali efficacy dari
pendidikan yang progresif. Sehingga meskipun pandangan bersifat progresif,
namun tidak begitu menggali kekuatan reproduktif pada kerja di masyarakat dan
sekolah. Faktor seperti sumber daya sekolah dan guru yang tidak sama memberikan
stereotip pada siswa tidak menantang. Secara sosial, pendidik progresif
memperhatikan masalah perbaikan kondisi individu, bukan pada perubahan sosial
untuk memberikan kondisi emansipasi.
Dari
dua ideologi ini, yaitu bahwa pendidik progresif merupakan yang paling banyak
digunakan untuk mengembangkan dan memperkuat individu, dan memudahkan kemajuan
sosial yang bersifat meritokratik merupakan ide yang lebih progresif diantara
dua yang ada. Selain itu, dua pandangan buta terhadap konteks sosial dan
dampaknya pada kemajuan sosial. Keduanya tekait dengan pencapaian serta usaha
keras individu, bertentangan dengan latar belakang hirarki sosial. Tidak ada pandangan
yang mempertanyakan fakta dimana sektor yang berbeda disosialkan untuk memiliki
harapan pendidikan, dan menerima bentuk pendidikan yang berbeda sesuai dengan
kelas asalnya. Atau tidak juga mengakui bahwa akhirnya kurikulum yang
tersembunyi cenderung mereproduksi stratifikasi karyawan dan kekayaan. Seperti
yang disampaikan Millen-Olsen (1981), kelas pekerja dan siswa kelas menengah
berharap serta dikondisikan untuk belajar matematika secara instrumental atau
relasional.
Hanya
satu dari dua pandangan meritokratik ini yang memiliki ideologi paling murni.
Ini merupakan pandangan pendidik progresif, yang menekankan kreativitas dan
berpusat pada anak, berlawanan dengan kegunaan. Romantisisme dan fokus pada
maslah murni dari anak-anak, memberikan kelompok yang mndefinisikan ideologi,
melindungi posisi kelas menengah dari pendidik profesional. Hal ini juga
berfungsi untuk menaikkan pendidik progresif dalam peran pengasuhan yang
mempunyai hak istimewa dan hubungannya dengan anak dan secara analog dalam masyarakat,
sebagai profesional kelas menengah.
Sehingga kemurnian dari ideologi ini bisa dilihat, Douglas untuk mengamankan
batas dan minat kelompok.
Pendidik
publik
Pendidik publik fokus pada penguatan pelajar,
melalui matematika, menjadi otonom, warga negara penting dalam masyarakat
demokratis. Kurikulum bagi pendidik matematika publik ditujukan untuk menjadi emancipatory
melalui integrasi guru dan diskusi publik tentang matematika dalam konteks
sosial dan politiknya, melalui kebebasan siswa untuk bertanya dan menantang
asumsi tentang matematika, masyarakat, dan tempat mereka, serta penguatan
mereka melalui matematika pada pemahaman dan kontrol yang lebih baik dari
situasi hidup mereka. Pandangan ini sepenuhnya mengakui dampak konteks sosial
dalam pendidikan dan memandang pendidikan sebagai makna pencapaian kebenaran
sosial. Ada perhatian terhadap alokasi sumber daya yang tidak sama dan
kesempatan kehidupan dalam pendidikan, dan perhatian pada perlawanan rasisme,
seksisme dan rintangan lain pada kesempatan yang sama. Dari kelima ideologi,
hanya ini saja yang merupakan pandangan perubahan sosial, mengakui
ketidakadilan dari masyarakat kita yang terstratifikasi dan hirakis, dan
berusaha menghancurkan siklus dengan mereproduksi atau menciptakan ulang
melalui pendidikan.